"Mas, bagusan diurai apa diiket?" Wening mematikan hairdryer sepuluh jutanya—menolehkan kepala ke arah sang suami yang tengah menghitung uangnya. Bibir merah muda itu kemudian tampak manyun, dengan menghentakkan kaki dia menghampiri Birawa. Tanpa aba-aba duduk di pangkuan pria itu, menyingkirkan tumpukan uang yang sudah dikareti dengan rapi.
"Ning, awas dulu tho yo," Birawa berdecak malas.
"Ikatin rambutku," si wanita menghempaskan uang dari tangan suaminya, menggantinya dengan ikat rambut berwarna pink yang jigly-jigly trulala—
"Ikat sendiri kan bisa," meski protes, sang suami tetap menurut. Menghimpun seluruh rambut panjang kekasihnya lalu menyimpulnya menjadi satu ikatan hingga leher jenjang dengan anak rambut yang lebih halus terlihat. Birawa melembut, pada akhirnya membubuhkan satu kecupan gemas di sana.
"Hehe, aku wangi kan? Lebih wangi aku tauk daripada duitmu," Wening menghadap suami, melingkarkan tangannya di leher Birawa dengan manja.
"Yawis tho, minggir sek, telat lho Ning nanti,"
Wening berdecak, suaminya paling susah diajak romantis kalau sudah berhadapan dengan uang. Mencebik, si wanita akhirnya menyingkir. Segera mengganti jubah mandinya dengan dress kuning cerah. Hari ini Birawa mau ke kota setelah nanti mampir menyetorkan uang di Bank. Mereka mau membeli mesin cuci baru. Sejujurnya itu keinginan Wening. Dia ingin mengangsurkan mesin cuci lamanya ke orang lain, menggantinya dengan yang baru. Sedang selera saja membeli mesin cuci. Padahal, dia juga tidak pandai memakainya melainkan hanya akan menjadi mainan barunya Sri.
Selain mau membeli mesin cuci, Wening juga berencana mengganti hamparan rumput hijau di sebelah rumah menjadi kulkas hidup. Dia sudah dua minggu ini merengek pada suaminya, karena Birawa amat sayang dengan taman di sebelah rumah. Kalau disulap jadi kebun untuk tempat tanam-tanam Wening, paling mentok satu dua bulan perempuan itu berkenan merawat, sisanya pasti akan meminta Sri atau bahkan minta dipanggilkan tukang kebun. Birawa kenal sekali istrinya yang gampang bosan itu.
Alangkah pintarnya Wening, perempuan itu mencari bala bantuan dengan bersekutu bersam Ibu Mertuanya, menceritakan betapa menyenangkannya berkebun di sebelah rumah menanam sayur-sayuran dan beberapa buah-buahan. Dengan iming-iming hidup sehat, Ibu termakan marketing jin genit. Ibu yang juga kepingin ada kegiatan selain menonton tv sebagai selingan Ibadah—pun jadi tertarik.
Dua kombo itu, akhirnya meluluhkan hati Birawa.
"Dikutuk jadi batu lho kamu Mas, kalau gak nurut Ibumu. Dia yang mengandungmu sembilan bulan, menyusui, merawat, mendidik, lalu kamu campakkan satu-satunya permintaannya yang amat langka itu?" Hasut Wening suatu hari.
Dengan berat hati Birawa memutuskan untuk mencangkul sore ini juga lahan di sebelah rumahnya, dan jadilah pagi ini mereka akan mencari bibit dan perlengkapan kebun di toko tani yang lengkap di kota.
Wening senang bukan kepalang. Seolah suaminya itu pengangguran, dia suruh saja sana-sini sesukanya.
"Pakai sabuknya, Ning," Birawa memperingatkan sebelum melajukan mobilnya.
Alih-alih mengeratkan sabuk pengaman, Wening malah terpanggil untuk berkomentar. "Ih, lihat itu si janda merah! Jemur daleman kok di pagar? Ndak malu apa dia?" Wening melebih-lebihkan. Kesewotannya itu tak akan luput begitu melihat jemuran besi di balik pagar kayu rendah milik Sisil (dibaca janda merah). Sederet kutang dan dalaman terjejer rapi di bawah pancaran malu-malu sang surya.
"Ih kok dilihat, Mas?" Wening memalingkan wajah suaminya yang ikut menoleh juga.
"Katanya suruh lihat,"
"Gak boleh! Lihat jalan!" Serunya heboh.
Mengibaskan rambut, Wening melanjutkan kesewotannya. "Dia pasti ndak ngerti njemur pakaian. Kalau jemur celana dalem itu, bagian selangkangannya ngadep bawah, aduh-aduh,"