5| Si Jago Merah

1.4K 191 18
                                    


"Mas, minta uang. Nanti mau belanja ikut Sri," Wening dengan enteng menadah tangannya, jarang-jarang dia meminta uang dengan suami. Biasanya juga benda itu selalu jadi musuh bebuyutannya.

Birawa membuka dompet, "ATM kamu kenapa ndak dipakai?"

"Mati, Mas. Aku kan udah ingetin to, diganti kartunya. Ini udah bulan enem, matinya bulan Mei kemarin. Kasihan deh," Wening naik ke pangkuan suaminya. "Aku mau uang merah emm... dua puluh lembar? Cukup gak ya? Aku gak mau yang lusuh," perempuan itu ikut memilih sendiri uang yang ada di dompet suami.

"Mau beli apa?"

"Jajan makeup, ada toko kosmetik baru buka," celetuk Wening, menaruh uang lima puluh ribu di pahanya lantas mulai menghitung. "Siji, loro, telu ...."

"Saya antar saja, jangan boncengan sama Sri," putus Birawa.

"Ih? Kan kamu mau kerja, Mas. Apa nggak berangkat?"

"Antar kamu habis itu baru berangkat kerja,"

Wening menggeleng tak setuju, "Kamu jangan bolos, Mas. Ingat, kita itu bentar lagi ada satu anggota baru. Kamu pikir anak kamu nggak butuh susu?" Dumelnya.

"Nanti jatuh, Ning. Sri belum begitu mahir bawa motor,"

"Sok tahu! Wong dia punya SIM kok,"

"Dikandani ngeyel," decak Birawa.

"Dih, ngambek. Udah tua, nggak cocok," Wening turun dari singgasana nyamannya, lantas bersenandung kecil keluar kamar seraya mengipas wajahnya dengan rupiah. "Sri buruan mandi! Jam sembilan kita berangkat ya!"

Birawa pada akhirnya dipaksa berangkat ke toko, tidak boleh menunggui Wening. Sebelum pergi, pria itu sudah berpesan agar Sri berhati-hati membawa motor.

Sebenarnya bukannya Birawa mau membolos, melainkan waktunya belakang jauh lebih fleksibel jika dibandingkan dulu sewaktu masih bekerja kantoran di kota. Awal-awal merintis juga Birawa nyaris tidak ada waktu. Satu tahun pertama pernikahannya tidak berjalan mulus melainkan selalu ribut karena amat sulit membagi waktu untuk pekerjaan dan juga keluarga. Wening yang keras kepala selalu membuntuti suaminya kemanapun berada. Sedikit-sedikit ribut. Sedikit-sedikit Wening mengancam pulang ke rumah mendiang Ibunya. Mungkin itu juga alasan kenapa mereka belum memiliki keturunan. Hubungan mereka belum sepenuhnya berbentuk.

Seiring usahanya di bidang depo bangunan itu bergerak stabil, Birawa mulai bisa memperhatikan keluarga kecilnya. Terutama mempelajari watak Wening yang abracadabra hulala yuhu. Banyak-banyak mengalah, karena merasa mereka bukan lawan, tapi teman berjuang. Tapi bukan berarti Birawa tak boleh marah. Dia boleh—lebih tepatnya harus. Sangat dibutuhkan di situasi-situasi di mana istrinya itu sudah keterlaluan di luar batas dan hanya kemarahan Birawa yang dapat membuatnya manut.

Seperti sekarang ini. Belum ada dua jam Birawa di toko, dia sudah mendapat panggilan dari Wening kalau perempuan itu dan asistennya kena tilang polisi. Alih-alih mengatakan "Saya bilang juga apa," atau "Makanya nek dikandani ojo kepala batu," atau sejenisnya, pria itu memilih langsung menyusul istrinya yang sudah pulang ke rumah.

Mungkin itulah yang disebut karma.

"Kenapa bisa kena tilang?" Birawa sudah sampai rumah dan langsung menyidang istrinya bersama Sri.

"Mbak Wening ndak pakai helm, Pak," Sri menunjuk majikannya tanpa dosa.

"Helmnya bau kencing kucing, Mas. Nanti rambutku bau!" Si tersangka buru-buru tancap gas.

"Ning! Jantungku mau copot rasanya!" Birawa mengusap wajahnya. "Kamu tahu ndak bahayanya ndak pakai helm saat berkendara?"

"Yo ngerti, tapi kan—

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MAMI WENINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang