Jangan lupa komen ya cakep :)
"Tadi dosenku marah-marah, terus ya Mas, dia itu pelupa. Kemarin yang disuruh hapus malah disuruh nambahin lagi. Padahal dia sendiri yang minta dihapus," Wening menghempaskan susu kotak rasa banana yang telah kosong di permukaan meja. Emosi dia. "Kapan lah aku wisuda. Ibu padahal sudah jahit kebaya. Aduh, makin berat rasanya,"
"Aku pengin jalan-jalan aja deh, Mas. Ke mana gitu. Tawangmangu apa ya?" Ujarnya lagi.
"Ndak bisa, saya sibuk," Birawa sudah ada janji di liburan besok. Kekasih barunya mau mengajak nonton di bioskop. Meski sebenarnya Birawa tak pernah menonton di tempat seperti itu—karena ini kencan pertamanya, dia mau saja menuruti.
Wening mencebik, "Ya makanya itu, Mas. Karena kamu terlalu sibuk, aku juga, jadi kita butuh alam untuk refreshing,"
Birawa menutup laptopnya. "Kamu jalan sendiri sama teman kamu kan bisa,"
"Temanku sukanya ngemall, ih,"
"Ya wes, main ke mall sana. Beli-beli," pria itu menjawab pendek, memasukkan beberapa berkas dan juga laptop miliknya ke dalam tas. "Ayo pulang," ajaknya.
Memang kebiasaan Wening setiap pulang kampus adalah jalan kaki sekitar delapan ratus meter sampai kantor Birawa. Setelah itu dia akan merecoki pria itu hingga sore menjelang. Tidak jarang juga dia memaksa dijemput di kampus kalau lelaki itu tidak sibuk. "Sekarang itu lagi musim demam berdarah ya, Mas? Di kampung katanya Ibu banyak yang sakit," Wening menyamakan langkahnya dengan si pria.
"Halo dek Wening, udah mau pulang?" Sapa si resepsionis, Mbak Rita namanya. Biasanya Wening sering diberi susu kotak ketika menunggu Birawa di lobby.
"Udah Mbak, hehe. Babay!" Wening melambai. "Mas tahu ndak," Wening menggandeng tangan Birawa dengan santai. "Mbak Rita ada hubungan sama Pak Dirut,"
"Dengar dari mana kamu?" Birawa tak suka Wening bergaul dengan orang kantor karena alasan yang bigini. Telinganya tajam sekali mendengarkan orang merumpi, dan lagi paling aktif merespon kalau ada berita hot.
"Dari Pak Satpam, katanya Mbak Rita itu tiap pulang selalu ditebengin Pak Dirut, diam-diam gitu,"
Lalu, Birawa menggeleng kecil. "Kamu itu jangan suka mendengarkan omongan orang dewasa,"
"Idih, aku juga udah dewasa kali Mas,"
Wening mengibaskan rambutnya. Dia tidak suka dianggap anak kecil terus. Tubuhnya semakin hari semakin besar. Dia juga sudah skripsian, hellow! Sebentar lagi dia menjadi mbak-mbak wanita karir yang ada di bayangannya sewaktu kecil dulu.
"Ning, besok berangkat sendiri bisa ya?" Birawa mengecek ponselnya sekilas, lalu memasang sabuk pengaman setelah berada di balik kemudi.
Wening meletakkan tasnya di kursi belakang.
"Kenapa?" Tanyanya bermuka masam.
"Saya ada janji,"
"Aku gak bisa naik ojek online lho, Mas,"
"Ya dicoba sekali kan ndakpapa. Minta dipesankan sama security di bawah itu bisa,"
"Ih, nggak mau. Mending kamu anterin aku subuh-subuh ke kampus daripada disuruh naik ojol," Wening menyilangkan tangan di depan dada. Dia paling tidak bisa naik transportasi umum. Dia tidak hapal jalan, tidak hapal rute. Apalagi dia pernah hampir diculik sewaktu pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota.
Birawa memijat kening, mulai bergabung dengan kemacetan. "Besok pagi itu saya ada rapat,"
"Manusia gila mana yang rapat pagi-pagi?" Wening berseru galak. "Oh, pacarmu suruh itu ya, Mas? Ngapel? Ngelesmu kurang kreatif,"