#1 Kenangan yang Terpatri

57 22 8
                                    

Di sebuah kafe yang nyaman di lantai dua sebuah bangunan tua, hujan turun dengan derasnya, membasahi jalan-jalan dan taman yang terlihat dari jendela. Dari sudut dudukku, aku bisa melihat orang-orang berlari mencari tempat berteduh. Beberapa berhenti sebentar untuk memakai jas hujan, sementara warung makanan di seberang jalan buru-buru menurunkan spanduk agar tidak basah. Suara hujan yang menimpa atap kafe menciptakan irama yang menenangkan, mengiringi pikiranku yang merenung.

Aku duduk sendirian di meja pojok, ditemani secangkir kopi hangat yang uapnya perlahan memudar. Dari sini, aku bisa melihat pemandangan jalanan yang sepi di bawah dan suasana kota yang tenang meskipun hujan turun dengan lebatnya. Kafe ini adalah tempat yang sering kudatangi, terutama lantai dua yang lebih tenang dan memberikan pandangan yang indah ke sekitar.

Tempat ini menyimpan begitu banyak kenangan manis. Aku sering datang ke sini bersama seseorang yang dulu sangat berarti dalam hidupku. Sosok pria yang kehadirannya mengubah hidupku selamanya.

Tiba-tiba, seorang barista cowok kafe mendekatiku, dengan basa-basi menegur, "Sendirian, Mbak?" Dia pura-pura melap meja yang sudah bersih di sampingku, dan aku bisa merasakan keberanian di balik tindakannya. Aku tersenyum datar, menyadari bahwa pertanyaannya hanya formalitas belaka.

Akhirnya, sore ini dia memutuskan untuk menyapaku. Aku menyeringai tipis, menyadari bahwa seminggu terakhir dia sering mencuri-curi pandang padaku. Aku tahu dia berusaha membangun keberanian sejak jam pertama aku datang ke sini hari ini. Aku memberinya senyuman tipis, sedikit menoleh, tanpa menatap matanya, lalu kembali memandang keluar jendela. Hatiku tak bersemangat untuk diusik olehnya.

Cowok itu menarik napas pelan, tersenyum tanggung, lalu undur diri dengan langkah pelan dan kepala tertunduk. Aku tidak tahu bagaimana kehadiranku di kafe ini bisa menarik perhatiannya, dan mungkin membuatnya resah sepanjang minggu terakhir. Padahal, aku datang ke sini untuk mencoba menenangkan diri dan mengenang masa-masa indah yang pernah kami bagikan di tempat ini.

Aku mengambil seteguk kopi, merasakan kehangatannya yang seakan kontras dengan dinginnya hujan di luar. Pandanganku tertuju pada tetesan hujan yang mengalir di kaca jendela, mengingatkanku pada air mata yang pernah mengalir di pipiku. Kenangan masa lalu seakan menyeretku kembali ke waktu itu, ketika segalanya terasa begitu indah dan penuh harapan.

Kafe ini adalah saksi bisu dari banyak momen berharga. Di meja ini, dia dan aku sering berbicara tentang mimpi dan rencana masa depan. Kami tertawa, berbagi cerita, dan menikmati setiap detik yang berlalu tanpa rasa khawatir. Setiap sudut ruangan ini menyimpan jejak kebersamaan kami, yang kini hanya menjadi kenangan pahit.

Dia adalah pria yang berhasil mengisi hatiku dengan kehangatan dan cinta. Kehadirannya membawa warna dalam hidupku yang saat itu terasa hambar dan monoton. Kami berbagi banyak hal, dari cerita sehari-hari hingga rahasia terdalam yang hanya kami ketahui. Namun, seperti hujan yang turun dan berhenti, kebersamaan kami pun akhirnya berlalu.

Aku melihat kembali ke arah jendela, menyaksikan tetes-tetes hujan yang tersisa bergulir di kaca. Rasanya seperti baru kemarin kami duduk bersama di sini, menikmati secangkir kopi dan berbagi cerita tanpa beban. Namun, sekarang semuanya hanya tinggal kenangan, kenangan yang terpatri dalam pikiranku dan membuatku kembali ke tempat ini, seolah berharap bisa menemukan kembali kehangatan yang dulu ada.

Saat hujan mereda, aku menghela napas dalam-dalam dan mengambil secangkir kopi yang tersisa. Rasa getir kopi itu menyatu dengan getirnya kenangan yang terpatri dalam pikiranku. Aku melihat ke jendela, menyaksikan tetes-tetes hujan yang tersisa bergulir di kaca. Saat itulah, pikiranku terhanyut jauh ke masa lalu, ke saat-saat bahagia yang telah kita lalui bersama.

Dikala itu, Aku Tak Mengerti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang