Beberapa minggu kemudian, saat kami sedang menulis bab baru, hujan turun deras di luar perpustakaan. Danar dan aku duduk bersebelahan di meja sudut, fokus pada halaman-halaman cerita kami. Suasana hujan membuat suasana menjadi tenang dan nyaman.
"Danar, bagaimana kalau Arga bertemu dengan putri hutan yang bisa membantunya?" tanyaku sambil melihat sketsa yang baru saja kubuat.
Danar memandang sketsa itu dan tersenyum. "Itu ide bagus. Mungkin putri hutan itu tahu rahasia tentang peta yang ditemukan Arga."
Aku mengangguk antusias. "Iya, dan mungkin mereka berdua harus bekerja sama untuk mengungkap misteri peta itu."
Kami mulai menulis dengan semangat, menciptakan dialog antara Arga dan putri hutan. Kami saling melemparkan ide, menambahkan detail kecil yang membuat cerita kami semakin hidup. Saat aku menulis, aku bisa merasakan kehangatan dari kebersamaan kami, seolah-olah dunia di sekitar kami menghilang dan hanya ada kami berdua di dalam cerita itu.
Di tengah-tengah kesibukan kami, aku merasakan Danar menatapku. Ketika aku menoleh, aku melihat kilauan lembut di matanya yang membuat hatiku berdebar. "Rana, aku senang kita bisa melakukan ini bersama. Kamu membuat setiap momen menulis menjadi begitu istimewa."
Aku merasa pipiku memerah mendengar kata-katanya. "Aku juga senang, Danar. Menulis bersamamu adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi padaku."
Danar tersenyum dan kembali fokus pada tulisan kami. Namun, kata-katanya terus terngiang di pikiranku, membuat suasana di antara kami terasa berbeda. Ada perasaan hangat yang tumbuh, lebih dari sekadar persahabatan. Aku merasakan kedekatan yang lebih dalam dengan Danar, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Saat kami melanjutkan cerita, aku merasa lebih terinspirasi dari sebelumnya. Setiap ide dan dialog yang kami ciptakan terasa lebih berarti. Kami tertawa bersama, berbagi pendapat, dan mendiskusikan setiap detail dengan penuh semangat. Kehangatan yang kurasakan di dalam hatiku semakin kuat seiring berjalannya waktu.
Ketika hujan mulai mereda, kami memutuskan untuk berhenti sejenak dan melihat hasil tulisan kami. "Cerita ini semakin menarik," kata Danar dengan senyum puas. "Aku tidak sabar untuk melihat bagaimana akhirnya."
Aku mengangguk setuju. "Aku juga. Aku merasa kita menciptakan sesuatu yang luar biasa."
Saat perpustakaan akan tutup, kami bergegas membereskan barang-barang kami. Di luar, udara terasa segar setelah hujan, dan aroma tanah basah membuat suasana semakin romantis. Kami berjalan bersama menuju rumah masing-masing, berbagi payung dan tertawa di sepanjang jalan.
"Danar," kataku tiba-tiba, merasa keberanian mengalir dalam diriku. "Aku merasa sangat beruntung bisa mengenalmu dan menulis cerita ini bersamamu."
Danar menatapku dengan hangat. "Aku juga, Rana. Kamu adalah teman yang luar biasa, dan aku sangat menghargai setiap momen yang kita habiskan bersama."
Kami berjalan dalam diam sejenak, merasakan kebersamaan yang begitu nyaman dan alami. Perasaan hangat dan dekat semakin menguat di dalam hati kami, menghubungkan kami lebih dari sekadar teman biasa.
Ketika akhirnya kami sampai di depan rumahku, Danar berhenti dan menatapku dengan tatapan yang lembut. "Rana, aku ingin kita selalu seperti ini, saling mendukung dan berbagi mimpi."
Aku tersenyum dan merasakan kehangatan di dalam hatiku. "Aku juga, Danar. Selama kita bersama, aku yakin kita bisa mencapai apa pun yang kita impikan."
Dengan janji di antara kami, kami berpisah malam itu dengan perasaan yang penuh harapan dan kebahagiaan. Kenangan tentang hari-hari yang kami habiskan bersama di perpustakaan, menulis cerita, dan berbagi impian, akan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan hidup kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikala itu, Aku Tak Mengerti
RomanceDi sebuah sekolah menengah yang biasa-biasa saja, Rana, seorang siswi yang cenderung menghabiskan waktunya sendiri, secara tak terduga menarik perhatian Danar, seorang teman sekelas yang selalu duduk di sebelahnya. Meskipun awalnya hanya duduk di se...