Saat hujan mereda, aku menghela napas dalam-dalam dan mengambil secangkir kopi yang tersisa. Rasa getir kopi itu menyatu dengan getirnya kenangan yang terpatri dalam pikiranku. Aku melihat ke jendela, menyaksikan tetes-tetes hujan yang tersisa bergulir di kaca. Saat itulah, pikiranku terhanyut jauh ke masa lalu, ke saat-saat bahagia yang telah kita lalui bersama.
Kenangan itu begitu hidup di dalam pikiranku, seolah-olah aku kembali mengalami setiap momen itu dengan intensitas yang sama seperti dulu. Aku teringat bagaimana kami tertawa, bercanda, dan berbagi impian di tempat ini. Semua itu terasa begitu nyata, seakan-akan aku masih bisa merasakan sentuhan hangatnya tangan kami yang saling berpegangan erat.
Namun, di tengah-tengah kenangan manis itu, ada juga rasa sakit yang menghantui. Rasa sakit karena kehilangan, karena menyadari bahwa semua itu hanya tinggal kenangan yang tak bisa kembali lagi. Aku merenung, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu menghantuiku: mengapa segalanya harus berakhir begitu cepat?
Sambil menyesap kopi yang semakin dingin, aku menyadari bahwa aku harus belajar menerima kenyataan. Menerima bahwa hidup terus berlanjut, dan kita harus siap menghadapi segala perubahan yang datang. Meskipun masa lalu meninggalkan bekas yang dalam, aku tidak boleh terperangkap di dalamnya. Aku harus melangkah maju, mencari kebahagiaan baru di setiap langkahku.
Dengan tekad yang baru, aku menatap ke depan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku yakin bahwa ada banyak hal yang menunggu untuk dijelajahi. Aku akan mengambil setiap peluang, mengejar setiap impian, dan membangun kehidupan yang aku inginkan.
Dengan langkah mantap, aku meninggalkan kafe itu. Meskipun hujan telah berhenti, hatiku merasa lebih ringan, lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Karena sekarang, aku tahu bahwa meskipun kenangan itu terpatri dalam pikiranku, aku punya kekuatan untuk membentuk masa depanku sendiri.
***
Hari ini adalah hari yang hujan, suasana kelas terasa ramai dengan canda tawa teman-teman yang tak henti-hentinya. Aku duduk di sudut kelas, sibuk membaca buku tanpa memperdulikan keramaian di sekitarku. Kursi di sebelahku kosong, sampai tiba-tiba dia datang dan duduk di sana tanpa sebab yang jelas.
Aku berbisik dalam hati, "Mungkin dia hanya akan duduk sebentar saja." Namun, aku tetap melanjutkan membaca bukuku, terkadang bosan dengan kegiatan yang monoton itu. Sekali-sekali, aku melirik ke arahnya. Dia sibuk dengan handphone-nya, mungkin sedang membaca buku secara online.
Tiba-tiba, mata kami bertemu. Aku mengalihkan pandangan dengan cepat, namun aku merasakan tatapan itu menghantamku. Setelah itu, dia kembali melanjutkan aktivitasnya, dan kami berdua tak bertukar sepatah kata pun. Meskipun begitu, keberadaannya di sana membuat hatiku berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.
Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, apa yang sedang dia baca, atau mengapa dia memilih duduk di sebelahku. Namun, dalam sejenak tatapan mata itu, ada sesuatu yang membuatku merasa nyaman, seperti sebuah hubungan yang tak terucapkan di antara kami.
Meskipun hanya sebentar, pertemuan itu meninggalkan kesan yang dalam dalam pikiranku. Aku bertanya-tanya, apakah itu hanya kebetulan, atau mungkin ada yang lebih di baliknya. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
***
Hari berikutnya, suasana kelas masih sama dengan sebelumnya, namun ada kehadiran yang tak bisa aku abaikan: Dia yang duduk di sebelahku. Setiap kali aku melirik ke arahnya, tatapannya yang tenang dan penuh makna membuatku terdiam. Aku merasa seolah-olah dia memiliki pesan yang ingin dia sampaikan padaku, tapi aku tak bisa mengerti apa itu. Tatapannya begitu tulus dan nyaman, seolah memberi kesan bahwa di sampingku adalah tempat yang benar-benar tepat baginya.
Meskipun belum pernah berbicara satu kata pun, kehadirannya mampu merubah suasana kelas secara keseluruhan. Tidak seperti sebelumnya, aku yang biasanya tak terlalu memperhatikan orang, justru selalu memperhatikan dirinya. Terkadang, aku bahkan lupa akan keberadaan orang-orang di sekitar, fokusku hanya pada sosoknya yang duduk di sampingku. Ini adalah sesuatu yang tak biasa bagiku, karena sebelumnya, aku bahkan tak tahu namanya.
Namun, hari itu semuanya berubah. Saat absensi kehadiran dilakukan, nama "Danar" terdengar begitu jelas, seolah memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang melintas dalam pikiranku. Aku akhirnya mengetahui namanya, namun masih banyak misteri yang menyelimutinya. Kehadirannya di sampingku telah membawa perubahan kecil namun berarti dalam rutinitas harianku. Aku penasaran, ingin tahu lebih banyak tentangnya, tentang apa yang membuatnya begitu istimewa di mataku.
Ketika aku merenungkan kehadiran Danar di sampingku, aku begitu tenggelam dalam pikiranku sehingga tak menyadari bahwa namaku, "Rana", sudah dipanggil oleh guru sebanyak tiga kali. Baru ketika guru menyebutnya untuk ketiga kalinya, aku tersadar dari lamunanku dan menjawab dengan tergesa-gesa, "Hadir, Bu?" Raut wajah guruku mencerminkan sedikit keheranan, mungkin ia heran dengan kehilangan kesadaranku selama tiga kali ia memanggil namaku. Aku berusaha mengatasi rasa malu yang menyelimuti diriku, sambil berjanji pada diri sendiri untuk lebih fokus pada pelajaran di masa yang akan datang.
Ketika kulirik ke arah Danar, aku menyadari bahwa dia tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Terlihat jelas bahwa dia adalah tipe orang yang tertutup, yang lebih memilih untuk menjaga jarak dan tidak terlibat dalam urusan orang lain. Tatapannya yang datar dan sikapnya yang tenang menunjukkan bahwa dia bukanlah tipe orang yang suka ikut campur dalam urusan orang lain. Seakan-akan dia memiliki dinding yang kokoh di sekitar dirinya, yang membuat sulit untuk orang lain masuk ke dalam kehidupannya.
Ketika guru selesai menjelaskan, kami disuruh menyalin materi yang sudah diprojeksikan di papan tulis. Sementara aku sedang fokus menyalin tulisan, Danar memanggil namaku dengan lembut, "Rana." Aku sedikit terkejut karena terlalu fokus pada pekerjaanku.
"Kenapa, Danar?" tanyaku dengan ramah, tanpa mengangkat kepala dari buku catatan.
Dia menunjuk ke ujung papan tulis, "Tulisan di sana, apa isinya?" Suaranya terdengar agak ragu, dan aku menyadari bahwa dia mungkin kesulitan melihat karena pantulan cahaya yang menyilaukan.
Meskipun aku sedang sibuk, aku menoleh ke arah yang ditunjuknya. "Oh, itu..." Aku menjelaskan isi tulisan dengan cepat dan jelas. Danar mengangguk mengerti sambil mengucapkan terima kasih kepadaku.
Setelah itu, aku kembali fokus pada pekerjaanku, tetapi ada perasaan hangat yang mengalir saat membantu Danar. Rasanya menyenangkan bisa menjadi seseorang yang membantunya melewati kesulitan, bahkan dalam hal sekecil ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikala itu, Aku Tak Mengerti
RomanceDi sebuah sekolah menengah yang biasa-biasa saja, Rana, seorang siswi yang cenderung menghabiskan waktunya sendiri, secara tak terduga menarik perhatian Danar, seorang teman sekelas yang selalu duduk di sebelahnya. Meskipun awalnya hanya duduk di se...