***
Saat hujan mereda, aku menghela napas dalam-dalam dan menyesap sisa kopi di cangkirku. Rasa getir kopi itu seolah menyatu dengan getirnya kenangan yang mengambang dalam pikiranku. Melalui jendela, aku melihat tetes-tetes hujan yang tersisa bergulir perlahan di kaca. Tempat ini, kafe ini, adalah saksi bisu dari banyak momen yang telah kami lalui bersama, terutama kenangan dengan Danar yang selalu membayang.
Kenangan itu begitu hidup di dalam pikiranku. Aku teringat bagaimana kami tertawa, berbagi cerita, dan menghabiskan waktu berdua di sudut kafe ini. Rasanya seperti baru kemarin kami duduk bersama di sini, berbicara tentang impian dan masa depan dengan semangat yang membara. Namun, di balik semua kenangan manis itu, ada juga rasa sakit yang tak terelakkan, rasa sakit karena kehilangan dan menyadari bahwa semua itu kini hanyalah bayangan masa lalu.
Dengan tekad yang baru, aku beranjak dari kursiku. Aku menyadari bahwa hidup terus berjalan dan aku harus siap menghadapi segala perubahan yang datang. Aku melangkah keluar dari kafe, meninggalkan tempat penuh kenangan itu dengan hati yang lebih ringan, siap untuk menjalani hari-hari yang akan datang.
Saat berjalan pulang, aku terhenti di sebuah taman yang berseberangan dengan kafe. Taman ini memegang banyak kenangan tentang aku dan Danar. Aku berdiri di sana, membiarkan ingatanku membawa aku kembali ke masa lalu, ketika kami pertama kali datang ke kafe itu bersama-sama.
***
Tak lama kemudian, bel pulang pun berbunyi. Aku segera berkemas dan bergegas untuk pulang. Namun, tiba-tiba Danar menegurku dengan suara lembut, "Rana, mau ke kafe dulu nggak sebelum pulang?" Aku berhenti sejenak, lalu dia melanjutkan, "Aku gak punya teman buat ke sana karena si Rama harus ikut ekskul teater."
Aku benar-benar bimbang. Baru dua hari aku mengenalnya, tapi sekarang dia mengajakku pergi ke kafe. Aku belum pernah ke kafe sebelumnya karena selalu merasa bingung tentang cara memesan minuman dan cenderung pendiam. Selain itu, aku tidak terlalu suka berbicara dengan orang asing. Namun, ada sesuatu dalam cara Danar mengajakku yang membuatku sulit untuk menolaknya.
Aku menatap Danar, mencoba mencari keberanian dalam diriku. Akhirnya, dengan sedikit keraguan, aku menjawab, "Oke, aku akan menemaninya ke kafe itu."
Kami pun berjalan keluar dari sekolah bersama. Hujan sudah benar-benar berhenti, meninggalkan jalanan yang masih basah dan udara yang sejuk. Aku mengikuti Danar dengan langkah perlahan, merasa gugup namun juga bersemangat. Sepanjang perjalanan, aku mencoba meredakan kecemasanku dengan memikirkan hal-hal positif. Mungkin ini adalah kesempatan bagiku untuk keluar dari zona nyaman dan mengenal seseorang lebih dekat.
Sesampainya di kafe, aku merasa sedikit canggung. Danar tampak sangat tenang dan santai, sementara aku berusaha menyembunyikan kegugupanku. Kami duduk di sebuah meja di sudut kafe, dan aku melihat sekeliling, mengamati suasana yang nyaman dan hangat. Kafe itu tidak terlalu ramai, dan aroma kopi yang khas memenuhi ruangan.
Danar tersenyum padaku, seolah memahami kecanggunganku. "Tenang saja, Rana. Aku juga pertama kali ke sini beberapa minggu yang lalu," katanya, mencoba menenangkanku. Aku mengangguk dan mencoba tersenyum, merasa sedikit lebih baik.
Ketika pelayan datang untuk mengambil pesanan, aku merasa sedikit bingung. Danar melihat kebingunganku dan dengan ramah menawarkan bantuan. "Mau aku pesankan sesuatu yang enak?" tanyanya. Aku mengangguk, merasa lega karena tidak harus memutuskan sendiri.
"Bagaimana kalau coba cappuccino? Rasanya lembut dan manis," saran Danar. Aku setuju, dan dia memesan dua cappuccino untuk kami.
Sambil menunggu pesanan datang, kami mulai mengobrol tentang hal-hal ringan. Danar bercerita tentang hobinya, bagaimana dia suka membaca buku-buku klasik dan bermain gitar. Aku mulai merasa lebih nyaman, dan tanpa sadar, aku mulai membuka diri dan bercerita tentang diriku sendiri. Kami berbicara tentang pelajaran, buku-buku favorit, dan bahkan beberapa mimpi dan harapan di masa depan.
Pesanan kami pun tiba, dan aku mengambil cangkir cappuccino yang terlihat begitu menggoda. Aku menyesapnya perlahan, merasakan kehangatan dan rasa manis yang lembut menyebar di mulutku. Aku tersenyum, merasa senang telah mengambil keputusan untuk datang ke kafe ini.
Percakapan kami terus mengalir dengan mudah, seakan-akan kami telah lama saling mengenal. Aku merasa ada sesuatu yang istimewa dalam diri Danar, sesuatu yang membuatku merasa nyaman dan diterima. Meskipun baru beberapa hari mengenalnya, aku merasa bahwa dia adalah teman yang bisa aku percayai.
Setelah beberapa saat, aku mulai merasa lebih rileks dan menikmati suasana kafe. Danar dan aku terus berbicara tentang berbagai hal, dari film favorit hingga impian masa depan. Aku menyadari bahwa momen ini adalah awal dari sesuatu yang baru dalam hidupku. Mungkin, dengan Danar, aku bisa menemukan lebih banyak tentang diriku sendiri dan belajar untuk lebih terbuka kepada orang lain.
Ketika akhirnya kami bersiap untuk pulang, aku merasa lebih ringan dan bahagia. Aku berterima kasih kepada Danar karena telah mengajakku ke kafe dan memberiku pengalaman baru. Danar tersenyum dan berkata, "Aku senang kamu mau ikut, Rana. Semoga kita bisa sering-sering melakukan ini."
Aku mengangguk, merasa senang dengan kemungkinan itu. Kami berjalan pulang bersama, dan aku merasa bahwa hari ini adalah awal dari petualangan baru yang akan membawa banyak kebahagiaan dan persahabatan.
Meskipun masih banyak hal yang harus aku pelajari dan hadapi, aku merasa lebih siap dan percaya diri. Dengan teman seperti Danar di sisiku, aku yakin bahwa aku bisa menghadapi apa pun yang datang di masa depan. Aku tersenyum, menikmati setiap langkah dalam perjalanan pulang, dan merasa bersyukur atas momen-momen kecil yang membawa perubahan besar dalam hidupku.
***
Kini, aku berada di taman yang sama, tempat aku dan Danar pernah duduk bersama setelah berkunjung ke kafe itu. Aku terhenti sejenak, membiarkan kenangan-kenangan itu kembali mengalir dalam benakku. Taman ini adalah tempat kami sering berbicara tentang banyak hal, dari hal-hal sepele hingga mimpi-mimpi besar yang ingin kami capai.
Aku ingat saat kami duduk di bangku taman ini, Danar bercerita tentang impiannya menjadi penulis. Aku, dengan malu-malu, berbagi tentang mimpiku sendiri. Di taman ini, kami berbicara tentang masa depan dengan penuh harapan dan keyakinan. Rasanya begitu nyata, seolah-olah aku bisa merasakan angin sepoi-sepoi yang berhembus lembut dan suara daun-daun yang bergesekan.
Kenangan itu masih terasa begitu nyata. Aku bisa merasakan angin sepoi-sepoi yang berhembus lembut, suara daun-daun yang bergesekan, dan tawa Danar yang begitu menyenangkan. Taman ini menyimpan begitu banyak kenangan indah yang tak mungkin terlupakan.
Kini, berdiri di taman yang sama, aku merasa terharu mengenang semua momen itu. Meskipun banyak hal telah berubah, kenangan-kenangan itu tetap terjaga dalam hati dan pikiranku. Aku tahu bahwa aku harus melangkah maju, namun aku juga merasa bersyukur karena pernah memiliki momen-momen berharga bersama Danar. Kenangan itu akan selalu menjadi bagian dari diriku, mengingatkanku akan arti persahabatan dan kebahagiaan sejati.
Dengan langkah mantap, aku melanjutkan perjalanan pulang. Hati yang tadinya terasa berat kini menjadi lebih ringan. Aku menyadari bahwa meskipun kenangan itu terpatri dalam pikiranku, aku punya kekuatan untuk membentuk masa depanku sendiri. Setiap langkah yang kuambil membawa harapan baru, dan aku yakin bahwa ada banyak kebahagiaan yang menunggu di depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikala itu, Aku Tak Mengerti
RomanceDi sebuah sekolah menengah yang biasa-biasa saja, Rana, seorang siswi yang cenderung menghabiskan waktunya sendiri, secara tak terduga menarik perhatian Danar, seorang teman sekelas yang selalu duduk di sebelahnya. Meskipun awalnya hanya duduk di se...