2. Hello, Zombie

108 5 0
                                    

Selama seminggu lagi, Lusi bergerak bagai dalam mode auto pilot di sekolah. Dia berangkat, sekolah, pulang. Makan, tidur, membuat PR, mandi. Dia hidup, bernapas dan bergerak, tapi hatinya seolah hilang.

Setiap pagi dia turun ke ruang makan dengan mata sembab. 

Sementara itu, orangtua Maxwell pindah ke New York, karena Cathleen, Mamanya, ingin mengembangkan brandnya di sana dan ada proyek kerja sama dengan beberapa mall. 

Maxwell dan Lusi kini tinggal hanya berdua di mansion keluarga Lexan yang mewah dan luas. Tentu saja ada banyak pelayan, jadi mereka tidak benar-benar sendiri. 

Lagipula, mereka tidak tidur sekamar.

Suatu hari, Maxwell yang sudah menghubungi sekolah Lusi dan mengatakan bahwa dia kini adalah wali dari Lusi, menerima pesan whatsapp dari Wali Kelas Lusi.

"Selamat siang. Benar ini Bapak Maxwell, wali dari Lusiana Amabel Chandra, kelas 11?"

"Iya, betul. Ada apa ya?"

"Siang ini Lusi terluka, Pak. Dia minum es kopi di kantin. Gelasnya jatuh, tapi dia ambil pecahan kacanya pakai tangan. Tangannya luka sayat. Karena darurat, kini Lusi sudah kami bawa ke UGD RS terdekat. Dia mendapat dua belas jahitan. Saya di sini menemani Lusi."

"Astaga. Share loc, Bu. Saya ke sana sekarang."

**********************************

Lusi kaget melihat Maxwell tiba-tiba berdiri di depannya dengan terengah-engah, seolah dia berlari kencang ke ruang tunggu UGD itu. 

"Lu, kamu gimana, Lu?"

"Aku nggak apa-apa, Kak."

"Nggak apa-apa tapi dua belas jahitan!"

Tangan kanan Lusi kini diperban.

Bu Yasmin, wali kelasnya, berdiri menyapa Maxwell.

"Ternyata walinya Lusi masih muda sekali, ya. Kalau boleh tahu Anda siapanya Lusi, ya Mas?"

"Saya kakaknya Lusi. Almarhum ayah Lusi mempercayakan Lusi pada keluarga kami. Orangtua saya pindah ke New York, jadi saya yang menjaga Lusi, Bu."

"Oh begitu. Boleh kita bicara sebentar?"

Bu Yasmin memberi kode agar percakapan mereka tak didengar Lusi. 

"Lu, aku ngobrol sebentar sama Bu Yasmin, ya. Kamu di sini aja, jangan ke mana-mana."

Lusi mengangguk.

"Begini Mas. Saya tahu Lusi sedang berduka. Tapi keadaannya sangat mengkhawatirkan, Mas. Dia seperti linglung, tidak sadar akan sekitarnya. Nilai-nilainya turun, dan dia jadi tidak mau bersosialisasi lagi. Saya sarankan dia konsultasi dengan psikiater. Mungkin dia akan lebih baik. Saya takut kondisinya akan lebih parah bila tidak segera ditangani ahlinya."

"Iya, Bu. Saya akan segera bawa Lusi ke psikiater. Terima kasih perhatiannya, Bu. Saya titip Lusi kalau di sekolah, ya Bu. Kalau ada apa-apa tolong hubungi saya."

"Pasti, Mas. Saya kembali ke sekolah, dulu, ya?"

**********************************

"Lu, kamu nggak bisa gini terus, Lu."

Lusi hanya memandang lurus ke jalanan. Mereka sudah di mobil Maxwell.

"Lusiana, lihat Kakak."

Mereka berada di parkiran rumah sakit. Mobilnya sudah menyala dan AC terpasang, tapi Maxwell merasa harus bicara dulu dengan Lusi.

Lusi menengok ke arah Maxwell, dan akhirnya fokus memandang suaminya itu. 

"Lusi, aku tahu kamu sedih karena Papa kamu udah nggak ada. Tapi kamu nggak bisa hidup kayak gini terus."

His Teen BrideWhere stories live. Discover now