Lusi terkagum-kagum melihat gedung kantor Maxwell yang sangat luas, modern dan elit. Tiap lantai punya lounge, food corner, entertainment corner di mana karyawan bisa main game, nonton film atau ngopi cantik.
Di tiap lantai juga ada dorm dengan dua belas tempat tidur untuk menampung yang kerja lembur.
"Wow, pasti betah ya kerja di sini. Fasilitasnya nggak main-main."
"Thanks," Maxwell menjawab sambil tersenyum. "Kerja di sini aja nanti kalo udah sarjana."
"Masih lama, hehe."
"Lima tahun lagi, kan? Ditungguin, kok, tenang aja."
Lusi hanya tersenyum gugup, sebelum mereka akhirnya sampai di lantai atas tempat kantor Maxwell dan tim intinya berada.
"Ini kantorku, Lu."
Di depan pintu tertulis "CTO Maxwell Lexan Bramantyo."
Wih, kerennya, batin Lusi.
Jendela2 setinggi ruangan menyambut Lusi. Mereka bisa memandang ke seantero Jakarta Selatan dari ketinggian itu.
Ada meja Maxwell yang besar dan megah dengan tiga layar, meja meeting dari kaca, smart TV, PS5, dan treadmill di sudut ruangan.
"Kenapa kesannya Kakak tiap hari lama banget ya di sini?"
"Haha.... Kelihatan banget, ya? Iya aku emang suka nginep di sini kalo lagi ribet. Di situ ada bedroom," dia menunjuk ke sebuah pintu. "Suka ngerasa pulang itu terlalu buang-buang waktu."
"Kok bisa sih? Bukannya pulang itu bagian hari yang paling menyenangkan, ya?"
Maxwell sedikit terdiam.
"Kamu sesuka itu pulang, Lu?"
"Lah, emangnya Kakak nggak? Tiap sekolah aku paling semangat bagian pulangnya."
"Di rumah Papa kamu, kan?" tanya Maxwell, yang jelas-jelas artinya, "Pasti bukan di rumahku, kan?"
"I--iya."
"Ya udah, semoga one day kamu juga sesenang itu pulang ke rumahku."
"Kak Maxwell nggak.... Nggak enjoy gitu di rumah?"
"Hem.... Rumahnya jadi beda setelah Callista nggak ada. Sedangkan menurutku tinggal di apartemen itu cuma nambah masalah aja. Toh naik tol juga cepet nyampe."
Lusi mengangguk mengerti. Dia sendiri enggan pulang ke rumah Papanya. Ya karena Papanya sudah tak ada tentunya.
"Aku suka sendiri sih, Kak. Jadi aku suka di rumah biarpun sekarang aku udah nggak punya rumah, ya."
"Oh, rumahku kamu anggap apa, Lu? Pos satpam?"
"Eh? Nggak, maksud aku nggak gitu, Kak."
"Jadi maksudnya apa?"
"Maksudku.....gimana ya ngomongnya?"
"Dipikir dulu coba, aku pengen denger jawaban kamu, soalnya."
Lusi tiba-tiba kebingungan. Dia merasa dimarahi, tapi nada Maxwell bukan seperti orang marah.
"Ya--ya karena--aku dulu seneng banget pulang, karena di rumah ada Papa. Jadi lebih ke--pulang itu ke Papa, bukan cuma ke bangunan rumahnya. Ngerti nggak, Kak? Omonganku emang aneh sih, jadi tuh ya--"
"Pulang itu ke orang yang kamu sayang, gitu, maksudnya? Bukan ke bangunan rumahnya, soalnya itu cuma tembok sama atap, iya kan?"
"I--iya. Untung Kak Maxwell pinter, bisa ngerti omonganku yang belibet."
YOU ARE READING
His Teen Bride
Teen FictionLusiana menikah dengan Maxwell saat masih berusia 17 tahun untuk memenuhi permintaan terakhir sang Ayah. Orang bilang, tiga bulan setelah menikah itu honeymoon. Untuk Lusi, tiga bulan itu adalah masa berkabung, karena ayahnya meninggal sehari setel...