sedikit tentang mereka

679 86 11
                                    

"Gastritis alkoholik."

Mengingat riwayat mabuk Hazel, Bian sudah menduga hal ini akan dialami oleh pemuda manis itu.

"Kapan terakhir dia mabuk?"

"Kemarin."

Arsen, dokter yang menangani Hazel mendesis pelan. Memang rata-rata pengidap gastritis adalah orang-orang seusia Hazel, tapi membayangkan pengidapnya adalah orang yang dikenalnya membuat dokter muda itu merasa khawatir.

"Kalau dibiarin bukan cuma lambungnya aja, bisa-bisa fungsi organ hatinya juga rusak."

Bian mengulum bibirnya. Ia menatap Hazel yang masih belum siuman. Bibir pucat itu membuat Hazel tampak lemah dan sedikit menggores hati Bian.

Bagaimana tidak? Haris dan James mempercayakan putra bungsu dan cucunya pada Bian. Belum lagi Jade, kakak Hazel yang sedang berada di Australia.

Tapi terlepas dari itu, Hazel juga tunangannya. Itu berarti, Bian juga memiliki tanggung jawab untuk memastikannya aman dan sehat.

"Bian."

Bian menoleh. Arsen, dokter sekaligus temannya itu menepuk pelan pundaknya.

"Hazel gak boleh dibawa pulang sekarang. Mengingat kadar alkohol di tubuh dia yang tinggi, dia harus disini."

Bian mengangguk. Lagipula disini juga banyak dokter dan perawat yang bisa menemani dan mengontrolnya dibanding dia harus di rumah.

.
.
.

"Huhuuuu Hazeeellllll."

Pemilik nama mendelik sebal mendengar rengekan tersebut. Kalau Mae sih tidak masalah.

Tapi ini Tian! Sahabatnya yang paling dramatis juga bermulut ember!

"Lu mending diem deh."

"Hazel gak boleh gitu." Tegur Mae. Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu buah tangan yang dibelinya bersama Tian.

"Kok buah semua?! Ini apa? Susu?" Protes Hazel.

"Kata kak Bian kamu ga boleh sembarang makan. Aku bingung mau beliin kamu apa tapi kata dokter kamu makan bubur buat tiga hari kedepan. Jadi kubeliin buah deh." jelas Mae.

"Dan lo cuma boleh minum susu sama air! Ga ada ya bir, alkohol, wine atau apalah itu!" tambah Tian. Mae mengangguk setuju.

"Kopi?"

"Tidak bisa. Bisa-bisa lambung kamu makin parah."

Pipi Hazel menggembung. Nada bicara Bian seolah-olah tidak bisa dibantah. Jadilah ia hanya menerima suapan buah pisang yang diulurkan Mae.

"Nyet?" panggil Tian.

"Hm?" Hazel berdehem.

"Aelah, mentang-mentang makan pisang mau aja dipanggil monyet."

"Sialan."

.
.
.

Hazel melenguh. Tenggorokannya terasa kering, sepertinya ia butuh air. Jam di ponselnya menunjukkan pukul setengah satu pagi. Tapi alih-alih memandang lama ponselnya, ada yang lebih menarik.

Sosok bertubuh tegap, kacamata yang membingkai wajahnya dengan sedikit kerutan di dahinya membuat Hazel tertegun sesaat.

Merasa ditatap lama, Bian mengalihkan pandangannya.

"Kamu haus?" Hanya anggukan yang ia dapatkan karena tenggorokan Hazel benar-benar kering.

"Lo gak tidur?" tanya Hazel setelah berhasil meneguk airnya.

"Ada beberapa laporan dari karyawan yang harus saya periksa." jawab Bian.

"Kenapa ga kak Karin yang periksa?"

"Saya.. belum bisa percaya Karin."

Hazel tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika mengetahui bahwa orang sebaik Karin pun tak bisa membuat Bian mempercayainya.

"Kok.. bisa?"

Seketika atmosfer canggung meliputi keduanya. Sikap diam Bian membuat Hazel berpikir bahwa mungkin saja pria itu tidak nyaman dengan pertanyannya.

"E-eh kalo lo ga nyaman lupain aja. Gue mending ti-"

"Trust issue. Saya gak bisa percaya siapapun semenjak saya mengambil alih perusahaan. Karin hanya saya tugaskan untuk menerima tamu, menyusun jadwal, membuat janji dengan klien dan mencatat hasil rapat. Tidak ada satupun dokumen yang bisa saya berikan padanya."

Hazel tertegun. Ia tahu betul alasan utama Bian mengambil alih perusahaan keluarganya diusia yang terlalu muda, sembilan belas tahun.

Saat itu Hazel yang berumur enam belas tahun melihat bagaimana perusahaan keluarga Dharma yang hampir tak tertolong akibat paman mereka, sang sekertaris perusahaan.

Penggelapan besar-besaran, pemalsuan tanda tangan hingga mengakibatkan ayah Bian dipenjara saat itu membuat Bian terpaksa mengambil alih posisi diusia semuda itu.

Namun setelah semuanya membaik, Bian justru tak ingin melepaskan perusahaan begitu saja. Menurutnya lebih baik begini, semua dikerjakan sendiri. Toh perusahaan membaik bersamaan dengan umurnya yang sudah cukup untuk mengambil alih perusahaan.

"Tidur, ya?"

"Gak bisa, Hazel."

Spontan, tangan Hazel terulur menyentuh pipi Bian. Jempolnya mengelus area bawah mata Bian yang kini memejamkan matanya, menikmati elusan Hazel.

"Lo mau jadi panda apa gimana sih? Tidur gih. Perusahaan juga gak bakal bangkrut kalo lo istrahat sehari."

Selembut apapun perlakuannya, Hazel tetaplah Hazel. Kini pemuda itu tidak henti-hentinya menceramahi Bian tentang begadang dan pentingnya waktu tidur.

tbc

nah gimana, gak ngegantung lagi kan? hehe

[3] Mr. Workaholic and his Fiancé | BinHaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang