ngapain dikantor bian?

830 108 2
                                    

Hazel mendengus. Kalau ia harus ke kantor pria itu berarti ia harus rela menunggu berjam-jam sampai Bian selesai.

Hazel bisa saja kabur. Tapi Bian mengancam akan melapor pada ayahnya.

Ia tidak takut, tapi kalau ayahnya tahu berarti kakeknya juga akan tahu. Bisa-bisa fasilitasnya disita.

Tidaaak! Hazel lebih baik mati kebosanan daripada mati tak memegang fasilitas kakeknya.

"Selamat siang, Mas Hazel."

"Kak Karin ih!" Tegurnya. Ia memang melarang Karin—sekertaris Bian memanggilnya mas.

'Aku gak jualan!' Katanya.

"Pak Biannya masih ada tamu, Zel."

"Udah lama, kak?"

"Mm, lumayan lah. Sejam gitu, kalau mau nunggu yaudah keruangan aku aja."

Ya, itu lebih baik daripada ia harus mendengarkan obrolan dua bapak-bapak gila kerja didalamnya.

Tapi perkiraan Hazel salah. Bukan bapak-bapak yang keluar dari ruangan Bian, justru gadis cantik dengan senyum manisnya.

"Duluan ya mbak Karin."

"Iya nona Naila."

Naila? Hazel merasa tidak asing dengan nama itu.

"Hazel? Mau langsung masuk?"

"Eh? I-iya kak. Daripada si tuan besar marah kalo guenya kelamaan."

.
.
.

"Kenapa la—"

"Please gue gak pengen berantem. Gue udah nunggu bareng kak Karin diluar."

"Kak karin?" Bian mengangkat alisnya.

"Iya, sekertaris lo. Kenapa?"

Bian menggeleng, kemudian beralih pada laptopnya.

"Duduk aja disitu, tunggu saya selesai ngurusin ini."

Hazel mendudukkan dirinya di sofa yang ada. Ia sudah sering mengunjungi Bian di kantornya, tapi ia tak berhenti kagum dengan ruangannya. Bian benar-benar memiliki selera interior yang bagus.

Omong-omong soal Naila, ia merasa tak asing dengan nama itu bahkan wajahnya juga.

Ia seperti pernah melihat wanita itu sebelumnya.

"Zel? Hazel."

"Eh?" Dia terkejut begitu melihat Bian sudah duduk disampingnya dengan , kacamata yang masih belum terlepas.

"Ngapain?"

"Buka laptop kamu."

Tanpa bertanya lagi, Hazel menurut dan membiarkan laptopnya diambil alih oleh Bian. Tetapi setelahnya ia melotot.

"LO NGAPAIN BUKA FILE SKRIPSI GUE?!"

"Kalau diluar kamu gak bakal ngerjain revisinya, pasti main terus. Makanya saya suruh kamu kesini."

.
.
.

"Haaaaa capeeee." Keluhnya. Belum sempat kepalanya mengenai meja, Bian dengan cepat mengangkat dagunya.

"Gak. Ini bahkan belum sepuluh menit, Hazel."

"Tetep aja! Udah dikampus bimbingan skripsi, masa iya dikantor tunangan sendiri juga bimbingan skripsi?" Adunya.

Alis bian terangkat sebelah, ia menyadari sesuatu.

"Tunangan? Kamu mengakui saya?"

Hazel mengangguk.

"Iyalah. Emang kita tunangan, kan?" Ucapnya sambil mengangkat jari manis kanannya.

Hanya jari manis! Untung saja cincin itu tidak terpasang di jari tengahnya.

Bian berdehem, menetralkan kegugupannya dan beralih ke laptop Hazel.

"Cepat kerjakan revisimu."

"Ish!" Dengan malas Hazel menggerakan jarinya diatas keyboard laptopnya, mengabaikan Bian yang masih saja mengawasinya.

"Kalimatnya kurang efektif."

"Coba periksa lagi settingan SPSS kamu."

"Ini masih salah, Hazel."

"Jangan kebanyakan bergantung sama AI."

"Kamu gak instal Grammarly?"

Dan banyak lagi celotehan lainnya. Benar-benar perfeksionis!

"Udah, segitu dulu. Setidaknya revisian kemarin udah diperbaiki. Inget tips saya tadi."

Hazel mengangguk, walaupun menyebalkan tetap saja Bian bisa mengarahkannya dengan baik.

Hazel melirik ke arah jam tangannya. Sudah waktu makan siang, jadi dia berinisiatif untuk mengajak Bian makan bersama.

"Yaudah, kamu tunggu disini. Saya masih mau rapat sama klien."

"Gak mau makan siang dulu? Udah waktunya loh."

"Nanti aja, saya udah nunda sejam tadi. Jadi gak enak kalau nunda lagi."

Bian keluar dari ruangan, meninggalkan Hazel yang mendengus kesal.

"Dasar workaholic! Apa susahnya sih makan dikiit ajaa." Keluhnya.

to be continue.

hai :)

[3] Mr. Workaholic and his Fiancé | BinHaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang