Melarikan diri, bersedih, menangis.
Lakukan saja semuanya sampai habis cintanya.Tatapan kosong dari sepasang mata indah itu menghunus jauh tak berbatas. Pikirannya melayang entah kemana. Hatinya bahkan turut berdenyut perih di tiap helaan nafasnya yang berat.
"Padahal sudah lama." Batinnya meringis.
Kata orang, waktu menyembuhkan patah hati. Ternyata waktu yang di maksud bukan sebentar. Patah hati adalah duka yang menyiksa. Proses sembuhnya bukan tentang sekedar membuang cintanya, namun juga berdamai dengan kenangannya.
"Ahh, aku menanti hari dimana aku teringat tapi sudah tidak apa-apa." Naya kembali membatin di tengah lamunannya.
"Nay?" Sebuah tangan menyentuh pundak pemilik mata sendu itu. Naya, gadis itu menoleh.
"Hei Wind." Sapanya ramah, tak lupa segaris senyum mengukir wajahnya.
Sontak Windi memeluk Naya seerat-eratnya. Ia sangat merindukan sahabatnya ini. Bagaimana tidak, Naya menghilang meninggalkan sepucuk surat yang hanya berisi tiga kalimat.
Gue nyari sembuh dulu, ya. Setahun aja, jangan cari sampai setahun kemudian. Jangan khawatir, gue usahakan gak akan mati sebelum kita ketemu lagi."
"Ya ampun gue kangen banget. Lo kemana aja Nay? Semua orang kangen lo."Windi melepas pelukannya, ia menatap lekat-lekat wajah Naya yang agak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Naya kini tampak lebih kurus, wajah chubby setahun lalu kini sudah tirus.
"Padahal gue ga sampai setahun perginya." Ucap Naya sambil terkekeh.
"Lo hilang sehari aja orang udah panik, Nay. Masalahnya ini lo pergi setelah..." Spontan Windi berhenti.
Naya menghembus nafas berat, sorot matanya kini tampak kelabu. "Gue salah kira, Wind. Ternyata pergi ga bikin gue pulih."
"Nay..." Windi menyentuh tangan Naya, berharap itu sedikit meringankan beban hatinya.
"Jadi itu alasan kenapa lo pilih lokasi ini dari sekian banyaknya cabang resto ini di Jakarta?" Tanya Windi.
Naya mengangguk "Karna gue pikir gue ga akan sakit lagi."
"Terus apa, Nay? lo mau kabur lagi? Lari lagi? Mau nyari pulih sejauh mana lagi, Nay?"
Naya menggeleng, ia tersenyum. "Tabungan nikah kemarin udah habis Wind, gue ga bisa kabur lagi."
"Ya udah, itu artinya lo harus kerja lagi. Udah ya Nay, hidup masih harus berlanjut. Lupain dia, ya. Hadapin sakitnya, nanti juga terbiasa."
"Ga ada orang yang terbiasa dengan luka yang belum sembuh, Windi."
"Makanya diobatin, Naya. Bukan malah kamu bawa lari ke gunung. Ga akan sembuh."
*****
Matahari terbenam lagi, satu hari telah berlalu, sudah lewat setahun sejak kejadian itu. Naya masih di sana dengan hati yang belum juga pulih.
Ia masih sering termenung menahan sakit sendirian. Ia masih sering menangis melewati hari-harinya yang sepi. Dia bahkan masih ingat dengan jelas bagaimana ia memergoki kekasihnya bermesra dengan perempuan lain sewaktu itu.
Ingatannya tentang kejadian hari itu masih sering berputar seperti adegan film yang sekelebat kapan saja bisa hadir di pikirannya. Memori di kepalanya seakan merekam sejelas mungkin tentang betapa datarnya ekspresi Adit kala ia menangis meminta penjelasan.
Sungguh satu kata maaf saja mungkin akan cukup membendung lukanya. Namun kala itu Adit hanya mengatakan satu kalimat;
"Apa yang kamu lihat, itulah kebenarannya."
Seolah Adit tak mau repot meminta Naya memaafkannya.
Sebelumnya, Adit sudah pernah sekali ketahuan selingkuh setelah ia pulang ke kampung halamannya. Dulu, semasa hubungan mereka masih begitu baik, Adit sempat pulang kampung untuk merundingkan rencana pernikahan mereka ke keluarga besarnya. Namun karena masalah ekonomi dimana secara kebetulan keluarganya ditipu maka rencana pernikahan mereka akhirnya diundur jadi tahun berikutnya.
Setelah pulang kampung itu, Adit berubah sikap. Naya kira karna ia mendesak pernikahan, namun rupanya di sana Adit bertemu seseorang yang menguncang perasaannya.
Tapi semasa itu, Adit memilih Naya.
Naya memaafkan Adit meski Adit sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata maaf. Naya lakukan semua itu demi mempertahankan orang yang begitu ia cintai. Pikir Naya kala itu; apapun keadaannya, bagaimanapun resikonya, ia harus bersama Adit.
Usai kejadian yang mengguncang itu, semua berjalan seperti yang Naya harapkan. Adit meninggalkan perempuan itu, dua keluarga mulai berunding soal pernikahan. Adit juga kembali baik padanya,bahkan Adit menelpon ibu dan kakak Naya untuk lebih meyakinkan Naya bahwa ia tak akan meninggalkan Naya.
Namun orang bijak pernah berkata; manusia yang punya riwayat selingkuh, tak akan pernah sembuh.
Setelah kajadian di hari itu, Naya percaya dengan kata orang bijak. Sikap Adit kembali berubah. Dan, ya. Dia tak akan lupa dengan hari dimana ia menyaksikannya sendiri.
Ia sudah mencurigai perempuan itu sejak Adit mulai menghindarinya. Namun ia tak mencecar Adit dengan banyak pertanyaan soal perempuan itu sampai matanya sendiri melihat kebenarannya.
Setelah kejadian menyakitkan itu, Naya berkali-kali mendatangi Adit meski ia selalu di usir. Naya menangis, meminta orangtua Adit menasihati Adit; berharap dia dibela.
Naya juga sempat menghubungi perempuan itu, meski teleponnya langsung ditutup seusai kata "Halo" terucap.
Naya mengirimi perempuan itu pesan, memohon agar sekiranya sebagai sesama perempuan, ia dapat mengerti situasi Naya. Namun siapa peduli? Perempuan itu dengan kejam menutup akses untuk dihubungi.
Pada akhirnya, Naya tetap ditinggalkan.
Keluarga Adit memblokirnya sehingga ia kehilangan cara untuk tetap bersama Adit. Bukan hanya Naya, keluarga Adit bahkan juga memblokir semua kontak keluarga Naya.
Sedangkan Adit? Dia menutup semua akses. Dia menghilang seperti pengecut. Pernah sempat Naya datangi lagi ke kostnya untuk kembali membicarakan tentang nasibnya yang berantakan, namun yang Naya dapat hanya kalimat demi kalimat yang kian memperdalam lukanya.
Bagaimana mungkin orang yang dulu ia anggap sebagai tempat paling nyaman untuk bersandar, menjelma menjadi orang yang paling menjatuhkannya.
Demi membela hubungannya dengan perempuan itu, Adit jadi kasar secara fisik. Lebam membiru sempat membekas seminggu di lengan kiri dan kanan Naya.
Semasa Naya menangis memohon karna hatinya begitu sakit, Adit malah tersenyum santai. Ia perlihatkan bagaimana mesranya chatingan antara ia dan perempuan itu. Dia perlihatkan bagaimana lebar senyumnya berfoto ria dengan perempuan itu.
Dia perlihatkan betapa tidak berartinya Naya dalam hidupnya.
Sejak saat itu, Naya menyerah. Perempuan itu telah mengalahkannya.
To be continued
...