Akan kubereskan sendiri ruang berantakan yang kau tinggal pergi.
Beserta sisa-sisa jejakmu yang membuat tangisku tak kunjung berhenti.
Suatu hari akan kuingat kamu sebagai kehilangan yang tak kusesali.------
Libur panjang hari raya terlewati bersama duka-duka yang belum mereda. Naya memutuskan tidak turut bergabung meramaikan arus mudik tahun ini. Dia memang tidak begitu suka pulang, namun untuk pertama kali sepanjang hidupnya; ia takut pulang.
Dia terlalu pengecut menunjukkan dukanya pada keluarganya. Dia terlalu takut untuk tampak lemah dan bodoh dalam satu waktu.
Hampir setahun ia melarikan diri. Menghabiskan tabungannya lalu menjelajah negeri kesana-kemari. Ia berhenti dari pekerjaannya, menonaktifkan semua sosial medianya, pergi dari Jakarta dan menghilang dari semua orang yang mengenalnya.
Pertemuannya dengan Windi hari ini adalah pertemuan pertama mereka setelah sekian lama. Windi melihat Naya sebagai sosok yang berbeda sejak hari itu sampai hari ini.
Senyum Naya tak lagi secerah dulu. Binar matanya tampak kelam. Seperti kata Naya; lukanya belum sembuh, padahal larinya sudah jauh.
"Faktanya, lo sekarang cuma pengangguran tanpa tabungan, Naya." Sarkas Windi. Naya tersenyum, ia tak tersinggung tapi tak juga menjawab.
"Jadi apa rencana lo setelah ini, Nay? Mau cari kerja lagi? Lo udah ga bisa kabur sekarang."
Kali ini Naya tertawa kecil, kembali ia aduk es kopi susu favorit nya itu "Ga usah diingetin mulu, Wind. Gue juga sadar kalo gue udah melarat."
"Atau lo mau jadi ani-ani aja? Wajah lo menjual sih, Nay. Pasti banyak gadun yang mau nampung lo." Sontak saja Naya menoyor kepala Windi seusai kalimat itu.
"Ogah banget anjir, lu pikir gue sanggup ngebatin dan hidup was-was karna takut dilabrak istri sah si gadun yang melihara gue."
Keduanya tertawa, dari dulu candaan jadi ani-ani selalu terlontar saat salah satu atau keduanya sedang bermasalah soal uang.
"Lagian lo pergi ga pake mikir." Ucap Windi selepas tawa keduanya reda.
"Itu adalah pikiran terbaik gue masa itu, Windi. Lo ga tau aja, berapa kali tangan gue ganggam pisau berpikir bagian mana yang kalau gue tusuk bisa bikin gue mati cepat tanpa ngerasa sakit."
"Nay..." Suara Windi melirih, meski Naya bercerita dengan nada bercanda, Windi tahu Naya serius dengan ucapannya.
Windi agak menyesal terlebih karna ia tak pernah tau bahwa Sedalam itulah keterpurukan Naya. Bahkan ia tak pernah tahu kalau Naya sampai sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
"Gue dapet tawaran menarik, Wind. Makanya gue balik padahal belum setahun." Naya mencoba mengalihkan topik pembahasan. Lagipula tujuan utama ia bertemu Windi hari ini bukanlah untuk kembali membahas lukanya.
"Tawaran kerja?"
Naya menggeleng. "Tulisan gue bakal jadi series."
"Hah? Tulisan? Series?" Daripada kaget, ekspresi Windi lebih ke penasaran. Dia tau bahwa Naya sangat suka menulis sejak mereka SMA. Namun ia pikir Naya sudah menyerah pada cita-citanya itu sebab Naya tak pernah lagi membahas impiannya semenjak mereka mulai bekerja.
"Gue masih nulis, Wind. Udah ga ngejar penerbit kayak dulu. Udah ga berharap tulisan gue bakal berjejer di rak-rak gramedia kayak dulu. Gue menyalurkan kata demi kata yang ada di kepala gue di sebuah platform online. Tulisan gue yang ini udah lama tamat, tapi ga tau kenapa belakangan malah rame di bahas."
"Hah? Nay ini serius? Kok selama ini ga ada cerita?" Windi masih tak percaya.
Naya mengangguk "Sorry, ya. Gue juga ga nyangka kalau tulisan gue bakal sampai naik ke layar."
"Nay, Gila." Windi kembali meneguk minumannya. "Ini sesuatu yang besar banget, Nay. Cita-cita lo, impian lo, semuanya bakal terwujud."
"Do'ain aja ya, Wind. Semoga seriesnya rame. Semua kesepakatan udah beres, sekarang pihak produksi lagi tahap memutuskan aktor dan aktris mana yang bakal ambil perannya."
"Nay, ga ini gue harus baca dulu novel lo sebelum seriesnya tayang."
Naya tertawa. "Sorry Wind, Novelnya lagi tahap penerbitan jadi yang di platform online aku take down sesuai permintaan penerbit."
"What? Nay!!!"
Naya tertawa, dia tahu ekspresi Windi akan seperti ini "ini berita baik yang gue bawa setelah ngilang setahun." Naya menyodorkan ponselnya, di sana terpampang sebuah akun instagram.
"Inilah gue selama ini, Wind. Akhirnya gue cukup berani dan percaya diri buat ngasih tau lo soal tulisan gue."
"Gila!!" Seru Windi seraya merebut ponsel Naya.
"Gue udah ngikutin akun ini dari lama, Nay. Ini nama pena lo?"
Naya mengangguk "Iya, gue tau lo follow gue di sini." Ucapnya sambil tertawa.
"Nay, lo parah sumpah. Jadi yang bakal di jadiin series itu novel lo yang judulnya Never Better? Gue udah baca sampe tamat kali, Nay. Gila!! "
Naya tak berhenti tertawa, dia senang karna ini menjadi kejutan luar biasa untuk Windi.
"Ga. Ga bisa ini. Gue sebagai pembaca setia lo harus ada di antrian pertama buat minta tanda tangan lo nanti."
"Lo ga perlu ngantri, gue yang bakal datengin lo buat nganterin bukunya nanti."
Mereka tertawa. Di antara gelak tawa keduanya, diam-diam Windi bersyukur atas tawa yang ia dengar saat ini. Naya, sahabatnya ini sudah terlalu banyak lukanya. Meski tawa Naya masih belum segembira dulu, tak apa. Setidaknya dari sekian banyak hal yang menyakitkan dalam hidupnya, ia masih bertahan di sini.
*****
Hari ini Naya menyelesaikan segala urusan penerbitan novelnya. Agak rumit prosesnya karna Naya mengajukan syarat yang tak biasa. Ia tak ingin muncul ke publik. Selama ini ia berhasil menjadi sejauh ini dengan cara tetap anonim, rupanya melangkah lebih maju itu butuh banyak keberanian dan keharusan yang tak bisa ia turuti.
Ia sempat berdebat panjang dengan pihak penerbit, mencari jalan tengah yang rumit antara banyaknya fans yang meminta acara tanda tangan bukunya dengan Naya yang tak ingin muncul di media manapun.
"Kenapa ga ambil kesempatan buat terkanal sih, Nay." Keluh Windi yang menyayangkan keputusan Naya.
"Gue ga minat buat dikenal, Wind. Saat seseorang dikenal publik maka akan banyak pihak yang jadi penasaran. Sewaktu-waktu, mereka akan banyak menggali tentang gue dan gue takut mereka nemuin sesuatu yang bisa nghancurin gue dalam semalam."
"Iya juga, sih. Tapi kan kayaknya kalau lo muncul ke publik pun, belum tentu lo bakal ada haters, Nay. Iya sih, akun nama pena lo itu udah banyak banget pengikutnya, tapi ga mungkin ada haters di antara itu semua, jadi kemungkinannya kecilkan buat mereka tau semua tentang lo."
Naya terdiam, ia kembali menyerumput es kopinya yang tinggal separuh itu. "Gue takut Adit-lah yang akan hadir lagi." Ucapnya lirih "Sekalipun dalam cerita gue dan Adit, gue lah yang ditinggal, tetap aja gue takut kalau tiba-tiba dia balik dan berusaha masuk lagi ke hidup gue cuma buat ngehancurin gue dua kali."
"Jadi alasannya bukan karna lo takut punya haters melainkan lo takut Adit tau ini tulisan lo?"
Naya mengangguk. "Gue takut lebih dikenal dari ini. bahkan tanpa gue muncul pun, gue khawatir Adit bakan mengenali gue di balik nama pena ini. Dia banyak tau soal gue, dia paling tau gue suka kupu-kupu. Dan kalau dia baca novel gue, mungkin dia makin yakin kalau gue lah penulisnya. Semoga saja tulisan gue ga pernah sampai ke tangan Adit."
"Nay, Adit ngelukain lo separah itu, ya?"
Naya mengangguk. "Gue secinta itu, makanya sekarang gue sesakit ini."
To be continued
...