Perkenalkan namaku Juliansyah, panggil saja Juli. Umurku 16 tahun, kelas sepuluh. Aku memiliki adik laki-laki yang bernama Dika. Dia masih balita baru berumur 1 tahun. Aku tidak pernah menyangka, jika akan mempunyai adik di umur 15 tahun. Ibuku baik hati dan penyayang, sementara Ayahku, dia orang yang perhatian walau ia jarang pulang ke rumah.
Yang terakhir, aku memiliki tiga sahabat yang sangat luar biasa. Kami selalu menghabiskan waktu setiap saat. Mereka bernama Zai, Luis, dan Ibnu. Akan Ku jelaskan karakter mereka.
Yang pertama Zainudin. Bisa dipanggil Zai, dia mempunyai sifat yang sangat kreatif, pintar, dan mudah beradaptasi. Dia pernah membuat Gazebo dengan kerja kerasnya sendiri di waktu masih SMP. Diantara kami bertiga, dia yang paling tinggi, rambut yang selalu tertata rapi, dengan bola mata hitam yang tajam. Di antara kami dialah yang paling dewasa.
Sementara Ibnu ia memiliki sifat yang, kadang pendiam, polos, baik, dan selalu bersemangat dalam hal apapun. Dia sangat suka menolong siapapun tanpa melihat luarnya. Dia memiliki bola mata berwarna coklat gelap, jika sedang tersenyum wajahnya terlihat selalu cerah. Di Antara Luis dan Zai, Ibnu adalah orang yang paling dekat denganku.
Dan yang terakhir Luis. Dia memiliki sifat yang menyebalkan, suka sekali bercanda. Dia sangat suka hal-hal keren dan selalu bersikap santai dalam melakukan apapun. Kalau soal bola mata, sama seperti orang-orang pada umumnya. Menurut pandanganku bola mata Ibnu dan Zai yang paling unik. Diantara kami, Luis adalah orang yang paling hebat soal menghibur. Namun sekali dia marah, membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menghiburnya kembali.
Kami berempat selalu bersama sejak SD hingga SMA, seolah seperti empat magnet yang saling menyatu. Kami berempat selalu bermain bersama, belajar bersama, dan saling mendukung satu sama lain. Tali persahabatan kami seolah tidak dapat dipisahkan. Meskipun terjadi konflik, hubungan persahabatan ini pada akhirnya kembali tersambung.
Malam ini aku sedang menatap bintang di teras rumahku sambil minum jus alpukat buatan Ibu yang sangat enak. Rumahku tidak besar, aku tinggal di daerah pegunungan dekat dengan air terjun yang masih alami dan terjaga. Tingginya mencapai 10 meter lebih, aku selalu senang bermain disana tidak hanya itu penduduk sekitar juga menyukainya. Air terjun itu masih saja ramai hingga kini, banyak anak-anak yang suka mandi di sana sambil bermain-main. Air terjun selalu terbuka untuk siapapun.
Di sebelah rumahku terdapat rumah kecil seperti gudang, disanalah kami sering bermain sekarang. Markra atau bisa disebut Markas Rahasia yang kami menamai tempat itu. Tidak banyak perabotan di dalam Markra, paling hanya ada satu lemari, satu meja,dan empat kursi. Markra sudah lama kami buat, ya itu benar kami berempat yang membuatnya. Dengan bahan-bahan dasar hingga yang khusus, kami semua yang membelinya dengan uang tabungan masing-masing. Jika ada niat tidak ada yang tidak mungkin.
Sewaktu kami masih SMP, aku dengan Luis dan Ibnu takjub dengan Gazebo buatan Zai, Markra terinspirasi dari itu. Yeah, Saat itulah kami memulai membuat rencana yang keren untuk tempat bermain yang baru. Ketika kami berempat mendapat kesulitan disaat membangun Markra, beberapa tetangga dengan baik hati mau membantu kami, tentu saja itu bantuan yang sangat berharga. Sekecil apapun bantuan itu maka sangat berarti bagi kami.
Di akhir kelas sembilan bangunan itu sudah berdiri kokoh di samping rumahku, Markra sengaja dibangun bersebelahan dengan rumahku karena menurut kami lahan itu yang paling cocok untuk dijadikan markas. Ibuku juga tidak keberatan jika separuh lahan dipakai untuk membuat Markra. Ya, walaupun saat aku ingin meminta izin kepada Ibuku rasanya sangat sulit untuk mengatakannya, seperti ada rasa takut yang tidak dapat dijelaskan, namun setelah berbicara baik-baik, ternyata mudah saja untuk mengatakannya dan itu sangat melegakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bayangan Malam
ActionSinopsis: Dari sinilah awal kejadian tidak terduga itu terjadi dalam hidupku. Berkeinginan untuk mencoba permainan baru, bersama ketiga sahabat karib. Tanpa kami sadari, permainan itu justru menjadi sebuah bencana. Membuat kami terseret ke dalam d...