Sebuah cahaya terang mendekat. Aku menyipitkan mataku, silau. Mata merahku masih menyala.
Luis berlari ke arahku, dia membawa lentera. Ada seorang pemuda yang ikut berlari di sampingnya. Zai menarik tombak yang menancap di tubuh babi. Darah mulai mengalir deras dari babi tersebut.
Ibnu terlihat menatap sedih babi itu.
“Babi ini sudah mati.” Zai memberi tahu.
“Terima kasih telah menolongku.” Aku berkata kepada Zai dan Ibnu.
Luis telah tiba di depanku dan juga seorang pemuda yang bersamanya.
“Hei, kau baik-baik saja?” Bukan Luis yang bertanya melainkan pemuda itu.
“Aku tidak apa-apa. Kecuali tanganku” Aku menjawab. Sekilas menatap tanganku yang terluka.
“Aku sudah menduga ini akan terjadi.” Pemuda itu menatap ke arah hutan. Seperti sedang memperhatikan sesuatu.
“Apa maksudmu?” Zai bertanya.
Pemuda itu terdiam sejenak. Seperti sedang berpikir. Aku dan ketiga sahabatku memperhatikan-menunggu jawaban. Cahaya lentera mulai redup. Udara malam mulai terasa dingin. Satu—dua ekor nyamuk mulai mendekat.
“Tidak enak berbicara di luar. Ikuti aku” pemuda itu berjalan lebih dulu.
Aku bangkit berdiri.
Zai kali ini tidak banyak berkomentar begitu juga dengan Luis, mereka memilih diam. Cahaya lentera yang dipegang Luis padam. Membuat kami menatapnya sejenak lalu fokus mengikuti langkah pemuda itu. Aku menghembuskan nafas lega. Ternyata pemuda itu adalah pemilik rumah yang hendak kami kunjungi. Pemuda itu masuk lebih dulu.“Ayo, silahkan masuk, jangan ragu-ragu.” Tuan rumah mempersilahkan.
Kami masuk satu-persatu, berusaha sesopan mungkin. Pintu ditutup saat Zai yang terakhir masuk. Tuan rumah berjalan cepat ke sana-kemari untuk menyalakan lilin. Saat lilin terakhir dinyalakan tuan rumah menatap kami ramah. Wajahnya sudah terlihat jelas, dia terlihat masih muda, tingginya sama sepertiku.
“Perkenalkan namaku Gura Shin panggil saja Shin. Kalian sungguh beruntung bisa menemukan rumahku di sini. Aku yakin kalian hendak kemari. Karena hanya aku yang membangun rumah di hutan ini. Aku yakin sekali kalau kalian adalah seorang petualang” Tuan rumah memperkenalkan dirinya.
“Sebenarnya, aku sudah tidur dari sore hari dan tiba-tiba aku jadi terbangun. Ternyata aku kedatangan tamu, temanmu yang telah membangunkanku. Mengetuk pintu keras sekali hingga aku dibuat bangun olehnya.”
Aku, Zai, dan Ibnu melotot ke arah Luis. Yang ditatap mengangkat bahu. Tidak terlalu memperdulikan.
“Sungguh tidak apa. Aku sudah terbiasa mendapatkan kejadian seperti ini. Lagi pula temanmu sedang membutuhkan pertolongan” Shin melambaikan tangannya, dia sadar jika kami bertiga kesal dengan Luis.
“Ngomong-ngomong kenapa kau tinggal sendirian di dalam hutan ini?” Zai bertanya penasaran.
“Kalau soal itu, aku tidak bisa mengatakannya. Tapi kalau soal hutan ini aku tahu segalanya. Oh iya, aku jadi lupa. Aku harus mengobati lukamu” Shin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Tanpaku sadari bola mataku sudah tidak berwarna merah.
“Kalian duduklah. jika di antara kalian yang sudah mengantuk atau lelah, kalian bisa tidur di kamar lebih dulu dan untuk nona muda bisa mengambil kamar di sebelahnya. Aku akan mengambilkan kotak obat.” Shin mempersilahkan sekaligus memberi tahu.
Aku, Ibnu, dan Zai menahan tawa saat Luis dipanggil dengan sebutan Nona muda. Luis yang mendengarnya hanya bisa menghela nafas. Lantas dia melotot pada kami, tangannya teracung. Mengancam.
Ibnu melangkah ragu-ragu ke dalam kamar yang gelap. Zai menyarankan untuk mengambil beberapa lilin dari ruang tamu. Ibnu mengangguk dia mengambil dua lilin.
“Luis jika kau mengantuk, tidurlah lebih dulu. Aku akan menemani Juli.” Zai berkata santai.
“Aku tidak perlu ditemani. Kau juga tidur dulu saja Zai.”
Luis tersenyum lebar Merasa senang. Melangkah lebih dulu ke dalam kamar yang bersebelahan dengan Ibnu. Dia hanya mengambil satu lilin. Aku menunjuk kamar Ibnu. Menyuruh Zai tidur lebih dulu.
“Aku akan menyusul nanti”
Melihat Shin kembali ke dalam ruang tamu. Zai beranjak ke dalam kamar.
Shin telah duduk di sampingku. Jika dilihat-lihat dengan baik dia seperti pria yang berumuran dua puluh enam atau dua puluh lima tahunan wajahnya masih segar. Shin mulai membersihkan luka-lukaku dan mengobatinya. Sesekali aku menggigit bibir mencoba menahan rasa sakit. Aku baru menyadari jika kami bisa merasakan rasa sakit di dalam game ini.
“Shin kau tinggal di rumah ini sendirian?” Aku bertanya. Memecah hening.
“Dulu aku masih mempunyai keluarga, tapi sekarang mereka semua sudah pergi.” Shin telah selesai mengobati lukaku.
“Jadi begitu.” Aku menghela nafas panjang, merasa bersalah sudah bertanya.
“Ah iya, benar juga. Hari sudah malam lebih baik kau istirahat. Aku yakin besok kau akan melanjutkan perjalananmu.” Shin meluruskan punggung di kursi Kayu.
“Itu benar. Ngomong-ngomong terima kasih untuk semuanya. Perkenalkan namaku Juli.” Aku bangkit berdiri.
“Tidak masalah, lagi pula aku merasa senang karena kedatangan tamu. Sudah lama sekali sejak kejadian itu berlalu, para petualang tidak ada yang terlihat. Ngomong-ngomong namamu sangat familiar” Bangkit berdiri. Shin melambaikan tangannya. Berjalan meninggalkanku, pergi menuju kamarnya.Aku menguap lebar. Mengantuk. Saatnya beristirahat. Aku jadi teringat sesuatu. Tangan kananku menepuk pelan tangan kiri. Sebuah hologram keluar. Aku menatap hologram tidak berkedip. Salah satu bintang darahku berkurang setengah. Setelah lukaku diobati bintang darah seolah bertambah sedikit demi sedikit.
Hologram yang mengambang telah ku hilangkan. Aku melangkah ke dalam kamar. Ibnu sudah tidur terlelap. Katanaku letakkan di atas meja bersama dengan senjata milik Zai dan Ibnu. Kamar ini cukup besar tidak seperti kamar milik Luis yang ukurannya sudah terlihat kecil dari luar.
Aku tidur di dekat Zai yang telah tersedia bantal kosong. Hanya ada satu guling dan Ibnu telah mengambilnya. Aku sudah tahu bahwa dia tidak akan bisa tidur jika tanpa guling. Menurut pengalamanku dulu, dia sempat tidur sambil menendang apapun yang ada di sekitarnya, hanya karena tidak bisa tidur tanpa guling. Aku mendapatkan pengalaman ini sewaktu kemah bersama dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bayangan Malam
ActionSinopsis: Dari sinilah awal kejadian tidak terduga itu terjadi dalam hidupku. Berkeinginan untuk mencoba permainan baru, bersama ketiga sahabat karib. Tanpa kami sadari, permainan itu justru menjadi sebuah bencana. Membuat kami terseret ke dalam d...