Episode 2

9 3 0
                                    

“Juli bangun!” suara khas Ibuku terdengar hingga ruang kamarku.

   Mendengar seruan tersebut, aku segera bangkit dari tempat tidur, duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawa. Tanpa berlama-lama aku menuju kamar mandi. Kulihat Ibu sedang sibuk di dapur, yang tengah menyiapkan sarapan. Astaga Aku hampir lupa bahwa pagi ini ada urusan penting dengan ketiga sahabatku, aku harus cepat-cepat.

   Setelah selesai mandi aku menuju dapur untuk mengambil bekal, makan siang.

   “Ibu, aku akan berangkat sekarang” kedua tanganku gesit memasukan bekal ke dalam tas.

   “Eh, kenapa terburu-buru?” Ibu bertanya. Gerakan menyendoknya terhenti.

   “Aku ada urusan penting dengan mereka, hanya itu saja” Aku menjawab singkat, malas menjelaskan.

   “Maksudmu sahabatmu?” Ibu memperhatikanku yang sudah siap berangkat.

   Aku mengangguk. Iya sahabat mana lagi kalo bukan mereka bertiga. Baiklah semuanya sudah siap waktunya berpamitan. Aku berjalan mendekat pada Ibu.  segera mencium tangannya.

   “Aku berangkat dulu, Bu”

   “Iya hati-hati di jalan ya, jangan lupa bekal untuk pagi dimakan dulu.” Ibu mengingatkan.

   Aku mengangguk segara melangkah keluar rumah. Hari ini, aku berangkat menggunakan sepeda kesayanganku. Tanpa menunggu lama sepeda yang dinaiki segera meninggalkan rumah, menuju Gazebo milik Zai. Hari ini kami berkumpul di sana. Suasana pagi hari ini sangat menyenangkan, cuaca yang cerah, burung-burung berkicauan di atas pohon, hingga embun membasahi dedaunan. Warga sekitar mulai melakukan aktivitas masing-masing.

   Tinggal beberapa meter lagi tiba di Gazebo, kulihat tiga sepeda telah terparkir rapi, menandakan sahabatku sudah datang, aku segera memarkirkan sepeda di dekat sepeda milik Ibnu yang sudah terparkir sejak tadi.

   “Hei, betapa lamanya kau datang.” Zai berkata saat Aku sudah duduk di Gazebo miliknya. Wajar saja Zai kesal, dia paling malas jika disuruh menunggu.

   “Ehehe, maaf.” Aku berkata pendek.

   Zai mendengus kesal, tidak menerima permintaan maafku. Di sisi lain Luis sedang menahan tawa, selalu senang melihat Zai kesal. Ibnu hanya diam, tersenyum tipis.

   “Baiklah tanpa perlu basa-basi lagi, jadi kalian sudah mendapat izin dari orang tua kalian bukan?” aku mulai fokus ke intinya.

   “Itu sih mudah bagiku.” Luis menjawab dengan santai.

   Aku mengangguk, paham dengan maksud nya. Pasti dia sudah mendapatkan izin. “Bagaimana dengan kalian berdua?”

   “Aku sudah mendapat izin” Ibnu dan Zai menjawab serempak.

   Aku berseru, mengepalkan tangan. “baguslah”

   “Baiklah, mari kita lanjutkan.” Luis tersenyum. Sebenarnya urusan penting yang kami bahas itu bukan hal yang begitu istimewa. Setelah pulang rencananya kami akan bermain Play Games bisa disingkat PG. Game ini sedang naik daun di desa kami, banyak orang-orang yang menyukainya, dari kalangan anak kecil hingga orang dewasa. Permainan PG juga bisa ditemui di warnet. Karena kami ingin memainkannya di Makra, jadi butuh persiapan lebih untuk mempersiapkannya.

***

Dua puluh menit sebelum gerbang sekolah ditutup, kami berempat segera berangkat. Jalan raya sudah ramai dipadati oleh kendaraan, sebagian besar anak-anak sekolah yang memadati jalan.

   Sesampainya di kelas. Seperti hari-hari biasanya kami duduk di kursi belakang, menurutku tempat paling nyaman untuk belajar memang di area tersebut. Aku satu meja dengan Luis, sementara Ibnu satu meja dengan Zai. Kelas sudah ramai ketika kami datang menyisakan beberapa meja yang masih kosong. Bel masuk mulai berbunyi. Murid-murid  yang masih di luar kelas mulai berhamburan menuju kelas masing-masing.

Sang Bayangan MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang