Vivian tergesa-gesa memasuki kamar Jia keringat dari pelipis membasahi wajah.
Senyumnya sedikit mengembang akan kabar baik, langkahnya lebar mendekati Jia yang baru bangun dari tidur.
"Jia, sebaiknya kita pergi pagi ini. Tidak ada waktu lagi untuk jogging diluar. Udaranya masih segar, cepat !"
Vivi menarik paksa Jia untuk cuci muka gosok gigi dan ia mempersiapkan baju olahraga Jia di ruang wardrobe lengkap dengan sepatu.
"Aku tidak ingin keluar." Tolak Jia lemah, badannya di gusur kesana-kemari oleh Vivi.
"Cepat kalau tidak aku akan sangat marah padamu." Vivi memasang wajah garang.
"Aku tidak peduli." Jawab Jia dingin.
"Menurutlah padaku, kamu akan menyesal seumur hidup kalau tidak ikut padaku hari ini."
Vivi menarik paksa Jia keluar mansion, para penjaga diluar menghadang.
"Kemana kamu membawa Nona Muda pergi ?" Ucap Marcus dengan kepala botaknya.
"Aku akan membawanya jogging di sekitaran rumah, tidak usah menghalangiku kamu juga tau siapa aku kan ?" Vivian mendelik.
Marcus kembali ke tempatnya dan duduk, membiarkan Vivian dan Jia keluar.
Dia tidak berani terhadap Vivi yang merupakan kerabat dari An Shuwan sekaligus anak pengusaha terkemuka juga.
Setelah mereka cukup jauh dari rumah melakukan olahraga lari, dengan sengaja menyuruh Jia untuk masuk ke mobil.
"Cepatlah biar aku jelaskan saat dijalan nanti." Ucap Vivi tergesa.
Mereka segera membawa diri menggunakan mobil Vivian. Saat hampir sampai di daerah bandara Vivian agak memelankan kendaraannya.
"Aku akan membawamu ke Indonesia, aku sudah tau alamat lengkap kekasihmu."
"Apa maksudmu ?" Jia bertanya dengan bingung. Aura wajahnya makin suram dan gelap seketika.
"Aku akan membawamu ke tempat Kak Nala." Tegas Vivian.
kaget mendengarnya, matanya melotot bibirnya tak sanggup lagi berucap.
"Aku sungguh akan membawamu kesana, Jia." Vivi menegaskan kembali.
"I-ya Vi, mohon t-tolong aku-u, kumohonnn Vi."
Jia mengangguk menyedup gugup dan meminta vivian agar benar-benar mengabulkan keinginannya sampai tujuan.
Vivi tersenyum, pancaran haru bahagia tersemat di roman wajah serta mata Jia yang terkaca-kaca.
"Tenang saja akan kupertemukan kalian berdua dengan selamat, Jia'er."
•••••••••
Satu minggu berlalu, dua insan yang bertemu di daerah Bandung sedang menjajaki perkebunan teh.
Hawa dingin menusuk, kabut tebal menghilangkan jarak pandang.
Nala menggenggam tangan Jia beriringan. Wajahnya penuh keceriaan seolah dunia hanyalah milik mereka berdua.
Sesekali mata Mak Narsih melihat dua insan yang kini sedang duduk berduaan di teras rumah sambil menyandarkan kepala ke bahu satu diantaranya.
Semenjak kedatangan tamu dari luar negeri, Nala terlihat sangat antusias seolah pemikiran kelabu dan tangisannya tiap malam yang lalu, hilang bagai debu tertiup angin berpencar tak merunut.
Apa yang Mak Narsih lihat tak semudah dicerna oleh akal, dibalik hubungan antara Jia dan Nala sudah berkembang rumit.
"Emak, sendirian aja."
Ucap Tina cucunya, yang kini sedang mengambil liburan kuliah di Belgia, sembari duduk di sebelah Mak Narsih.
Tatapan Tina melurus pada dua orang di sebelah rumahnya yang sedang asyik berduaan.
"Aneh sekali mereka kayak orang pacaran aja." Celetuk Tina.
Mak Narsih yang mendengar gumaman kecil Tina bertanya lagi untuk memastikan perkataan cucunya.
"Apa cu ?"
"Engga Mak, itu buah jambu bentar lagi mateng." Alih Tina secepat kilat.
Pandangan Mak Narsih berpindah ke arah pohon jambu batu di pekarangan pinggir rumah.
"Nanti kalo ada yang mateng Emak bawain buat kamu cu, kamu disini aja istirahat emak mau ke rumah ibumu nganterin lauk buat makan."
Mak Narsih membawa bungkusan plastik dari dalam rumah.
"Lauk apa Mak ?"
"Lauk buat temen nasi, ada pais tahu sama ayam goreng sambal bakar, kesukaan kamu nih Cu. Nanti kamu makannya di rumah Ibumu aja."
"Iya Mak, hati-hati."
Punggung neneknya yang sudah mulai membungkuk kini menghilang di ujung jalan.
Pandangan Tina pada dua orang itu kembali intens.
"Kak Nala pacaran sama Kak Jia ?"
Pandangan Nala dan Jia tersudut pada satu orang, Tina.
Saking nyamannya mereka tidak menyadari kedatangan Tina yang sudah muncul dihadapan mereka dengan mimik ragu.
Tidak ada yang menjawab diantara keduanya.
"Gapapa kok Kak, aku udah tau.. keliatan dari gelagat kalian juga udah beda." Tina menyimpulkan sendiri.
"Maafin Kak Nala ya, Tin."
Tina hanya senyum kecil berlalu pergi, tak bisa dipungkiri jika matanya bersorot kecewa.
Nala yang melihat Tina pergi begitu saja merasa tak enak, bagaimanapun saudaranya itu pasti kecewa.
Jia menghibur Nala dan menggenggam erat tangan sang kekasih.
*****
Bentar lagi tamat yeee...
Maafkan ga update tuh sibuk pake banget nget nget ngetttzzz 😮💨 kemarin author udah tepar berapa kali karena kecapean kerja 😭Harus bener-bener extra jaga kondisi, cuaca lagi ga menentu tapi badan harus tetep pergi kerja apapun kondisinya 😵💫
Semangatt y'all
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
|[}{]•°WRONG FEELING°•[}{]|
RandomWarning !! GxG area !! Baca aja ! Skip kalo gasuka. Harap bijak saat berkomentar. No War !! Stay cool and Calm down oke !!