PROLOG

36 5 0
                                    

"Siapa yang sebenarnya lebih berbahaya? Benarkah mereka yang katanya baik itu tak membawa racun di belakangnya?"

⋆⋆⋆

Sebuah mobil hitam berhenti di pinggir jalan, seorang wanita dan anak kecil laki-laki usia lima tahun keluar. Keduanya mengamati sekitar, ini sudah tengah malam, daerah yang mereka singgahi sepi, tidak ada yang lalu-lalang.

Karena bingung, anak kecil itu mendongak, bertanya, "Bibi, kita kenapa ke sini?"

"Nggak usah banyak tanya!" jawabnya ketus dengan tatapan sinis.

Merasa tak ada yang akan melihat perbuatannya, wanita itu menarik kasar tangan anak kecil di sampingnya untuk dia bawa masuk ke dalam hutan.

Kakinya sedikit berlari, orang dewasa ini melangkah lebar dan cepat, dia sedikit kewalahan mengikuti. Ketika mereka berhenti, tubuhnya langsung didorong kuat hingga jatuh.

Anak kecil laki-laki itu terkejut, dia membalikkan badannya. Takut ketika melihat wanita di depannya tersenyum lebar yang tampak mengerikan.

Tubuhnya dia geser ke belakang ketika wanita itu berjalan mendekatinya. Sesuatu menahan punggungnya, ia menoleh, ternyata batang pohon. Membuatnya tak bisa lagi mundur.

"Bibi," panggilnya pelan seraya berdiri, matanya berkaca-kaca.

Wanita itu tersenyum. "Iya, kenapa?" tanyanya lembut.

Anak kecil itu memejamkan mata ketika tangan orang di hadapannya terangkat. Kepalanya dielus pelan, matanya terbuka perlahan, lalu keduanya bersitatap karena wajah wanita itu tepat berada di depannya.

Hanya beberapa detik, sebelum akhirnya wanita itu melotot marah sambil menarik rambut anak di depannya kemudian menabrakkan kepalanya ke pohon di belakang.

Suara kesakitan terdengar memilukan, anak itu menangis kencang. Meminta berhenti, berusaha melawan tapi tidak berarti.

"Bibi sakit Bibi sakit!" teriaknya berulang kali, pun kepalanya yang terus dihantamkan berkali-kali. "B-berhenti Bibi sakit!

Cairan merah sudah membasahi batang pohon, membuat wanita itu tertawa puas. Lantas berhenti, memandangi wajah yang basah oleh air mata.

"Anak laki-laki nggak boleh nangis, masa gitu aja kamu lemah?" Wanita itu berucap, membuka kepalan tangannya pada rambut hingga anak di depannya langsung terduduk lemah.

Wanita itu jongkok sambil memeluk lututnya. Tersenyum memandangi anak kecil di depannya, berkata, "Kamu tahu, Rei? Di dunia ini ada banyak orang yang nggak diterima kehadirannya. Dan kamu termasuk salah satu dari mereka."

"Terkadang, dunia memang nggak adil. Kamu lihat Bibi, dari dulu nggak pernah bahagia. Dia... manusia sialan itu membuat kehidupan Bibi yang sudah susah, jadi tambah susah." Wanita itu mengelus lembut pipi anak di depannya. "Dan kamu juga diperlakukan nggak adil, kan? Jadi, lebih baik kamu nggak ada di dunia ini. Lagipula, penyebab kamu ada juga gara-gara kesalahan Bibi."

Di ambang kesadarannya, anak itu mendengar wanita di depannya menangis, lalu tertawa, menangis lagi, tertawa lagi.

"Tolong... sakit...," lirihnya dengan tetesan air mata sebelum akhirnya terpejam.

Cukup lama menangis dan tertawa, wanita itu berhenti, menatap anak di depannya yang tak bergerak sama sekali. Dua tangannya menutupi mulut, terkejut. "Wah, sudah mati?" celetuknya.

Dia bertepuk tangan heboh. Seolah bangga akan keberhasilannya. Ia berdiri sambil menarik napas panjang, membungkuk sejenak untuk menepuk pelan kepala anak kecil itu.

Lalu berlari sembari melompat riang seperti anak kecil dan mengucap satu kata yang sama secara berulang-ulang.

"Mati! Mati! Mati!"

N O X I O U S

NOXIOUS [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang