BAB - 07

21 3 0
                                    

Ketika mau mendekati seseorang yang kita cintai, kita harus memahami bagaimana orang tersebut. Kalau sudah tahu, di antara banyaknya cara, kita bisa memilih yang terbaik.

⋆⋆⋆

Laki-laki berkemeja itu menatap putrinya dengan heran. Bagaimana tidak, dari tadi senyuman di wajah cantik anaknya itu tak memudar, anehnya lagi kenapa putrinya itu tiba-tiba ingin bersekolah memakai sepeda. Padahal, biasanya selalu dengan dirinya karena kebetulan sejalur menuju ke rumah sakit tempatnya bekerja.

"Dek, Adek nggak apa-apa, kan?" tanya Marsel.

"Adek baik. Emangnya Adek kenapa?" Naya bertanya balik.

Wanita yang baru saja keluar dari dalam rumah menatap suami dan anaknya yang terlihat bingung satu sama lain. "Mas, Dek, kalian kenapa?" Ayaka bertanya.

"Nggak tahu Ayah, emangnya Adek kenapa, Bun? Ada yang aneh, ya, sama penampilan Adek?" Naya memeriksa dirinya sendiri.

"Ini loh, Bun, anak kita dari tadi pagi senyum terus. Tumben juga itu mau pakai sepeda ke sekolah," jelas Marsel.

"Lho, emangnya salah, ya, kalau Adek senyum? Lagian Adek juga mau coba hal baru, sekalian olahraga pagi." Naya menatap sepeda yang baru dibelikan ayahnya.

"Emangnya Adek bisa pakai sepeda?" Marsel bingung, tadi malam putrinya menelepon minta dibelikan sepeda. Sebagai ayah yang baik, Marsel langsung saja mengabulkan. Dan pagi ini, dia baru sadar sesuatu.

"Bisa—" Naya terdiam. Remaja itu menatap orang tuanya sambil tersenyum malu.

"Ayah, ayo berangkat," kata Naya lalu mencium tangan bundanya. "Bunda, Adek titip sepedanya, ya."

Ayaka mengangguk saja. Selepas itu keningnya dicium oleh Marsel. "Hati-hati. Adek jangan jajan yang pedas, ya! Mas juga jangan telat makan, tadi aku masukin sayur ke dalam bekalnya, harus habis oke."

Marsel mengiakan. Laki-laki itu memang kurang menyukai sayuran, tapi karena istrinya yang memasak, apa pun akan dia habiskan tanpa sisa. Sedangkan Naya, anak itu malas membawa bekal, ribet katanya.

Ayaka membalas lambaian putrinya. Setelah mobil mereka pergi, dia menatap ke arah sepeda. "Kamu apain anakku, sampai-sampai dia kelihatan sayang banget sama kamu?" monolognya.

Di dalam mobil, Naya membuka pembicaraan lebih dulu.

"Ayah. Dulu... waktu Ayah dekatin Bunda, caranya gimana?"

Marsel menoleh sekilas, menjawab, "Ada banyak cara yang Ayah gunain, tapi Ayah tetap ditolak berkali-kali, sampai akhirnya Ayah sadar diri. Soalnya dulu Ayah anak berandalan, sedangkan Bundamu dia anak teladan, juga menjabat sebagai ketua OSIS."

Naya tertawa pelan, bundanya juga pernah bilang jika ayahnya dulu sangat nakal.

"Tapi, suatu hari Bundamu bilang, Kalau mau diterima, kamu harus berubah. Belajar yang baik dan gapai cita-cita kamu. Ayah langsung semangat, karena saat itu cita-cita Ayah adalah untuk mendapatkan Bundamu." Marsel menghentikan mobil karena lampu merah. "Sampai suatu hari, gempa datang secara tiba-tiba. Bangunan sekolah banyak yang runtuh, termasuk kelas Ayah dan Bundamu, kita berdua terlambat untuk menyelamatkan diri. Ketika tim evakuasi datang, hati Ayah merasa hancur seketika. Karena di saat itu, Ayah melihat Bundamu terluka, mata indahnya terpejam."

Naya menatap ayahnya dengan sendu. Tentang peristiwa itu, ia baru tahu. Mobil kembali melaju, Marsel melanjutkan ceritanya.

"Bundamu koma sekitar satu bulan, karena lukanya memang parah. Apalagi bagian kepalanya, pas bangun, Bundamu lupa sama Ayah. Dia dinyatakan amnesia sementara." Marsel menghela napas. "Di situ, Ayah semakin sedih. Tapi sesuai sama ucapan Bundamu, Ayah bertekad untuk berubah. Ayah juga akhirnya punya cita-cita kedua, yaitu menjadi Dokter. Biar nantinya, Ayah bisa menolong orang-orang, menjaga kesehatan Bundamu, juga Adek dan Kakak yang hadir sebagai anak-anak Ayah."

NOXIOUS [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang