Setelah berhasil melarikan diri dari kerusuhan yang diwarnai baku pukul di Warkop, Bian dan Rayyan akhirnya menemukan pelarian dengan berkendara motor menuju indekos mereka. Di atas motor yang melaju di tengah malam, suasana sekitar terasa tenang, kontras dengan kekacauan yang baru saja mereka tinggalkan, perasaan tegang dan panik kini berubah menjadi gelak tawa lega.
"Hahaha, ngeri banget tadi, Ray!" seru Bian kegirangan di jok belakang.
"Tapi seru, Bi! Hahaha, kapan lagi coba pukul-pukulan sama anak Warkop," balas Rayyan sama girangnya sembari memacu kencang motornya.
"Kamu gila banget sih, Ray sampai buat si Ghufron pingsan."
"Habisnya, aku kesal sama dia. Apalagi lihat mukanya merasa tidak berdosa," sahut Rayyan jengkel.
Sebelum melanjutkan perjalanan pulang, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak di pinggir jalan jembatan yang sepi, mengenang apa yang baru saja terjadi di Warkop. Deru suara mesin motor mati, Rayyan turun dan duduk di pinggir jembatan. Sementara Bian duduk di atas motor, menyalakan rokoknya dan menghisap rokok dengan kelelahan yang terasa.
"Woi, matamu bengkak tuh!" Bian berseru sembari mentertawakan kondisi Rayyan.
"Sok ngetawain aku! Elap dulu tuh darah di alis."
Mendengar ucapan dari Rayyan dengan segera Bian mengaca di kaca spion dan melihat ada darah mengalir dari alisnya. Lelaki itu tertawa lalu mengusap darah tersebut dengan lengan bajunya.
"Bi, menurutmu kasus beasiswa ini perlu dilanjut tidak sih buat diselidiki?" tanya Rayyan meminta saran.
"Kok malah nanya gitu? Padahal, kamu sampai buat rusuh di Warkop perkara Beasiswa. Hadehh, Rayyan, Rayyan!" Bian menggeleng-geleng heran dengan pertanyaan Rayyan.
"Bukan begitu, Bi. Dengar sendiri kan apa kata Ghufron?" tanya Rayyan lesu.
"Iya denger kok. Dia nyuap orang Rektorat buat dapetin Beasiswa dengan mudah, gitu kan?" Bian mengajukan pertanyaan balik.
"Nah, dari situ kan ketahuan kalau ada keterlibatan orang Rektorat!"
"Iya, terus apa yang kamu takutin?" tanya Bian dengan alis terangkat satu.
"Kita cuma BEM, aku ragu bisa ngusut masalah ini sampai tuntas." Tercipta keraguan di wajah Rayyan membuat Bian segera menghibur temannya tersebut.
"Rayyan! Justru emang itu tugas BEM. Itu resiko gabung BEM. Jangan kira karena kita ini organisasi kemahasiswaan tertinggi, kita malah jadi ikut-ikutan kayak pejabat Rektorat. Kamu mau, nanti ada banyak mahasiswa demo di depan sekretariat kita?"
"Bagus dong! Jadi ada yang bisa diajak ribut lagi!"
Mereka tertawa lepas, mungkin sebagai bentuk pelepasan dari ketegangan yang masih menyisakan jejak di pikiran mereka. Perbincangan Rayyan dan Bian berlanjut, membahas betapa peliknya masalah yang tengah dihadapi. Mereka saling berbagi pandangan dan pemikiran mengenai kejadian di Warkop, mencoba mencari makna di balik setiap tindakan berani mereka.
"Tapi ini bakal susah sih. Aku memang ketua, tapi kalo sendirian ngusut kayaknya berat buatku," kata Rayyan pesimis.
"Kan kamu punya jajaran sih. Ada aku, Yuda, Haneera, Alam, Elvira sama ... cuma itu doang yang kuingat, Hahaha!" Bian menyahut disertai tawa.
"Yee malah lebih parah! Sama anggota sendiri bisa lupa."
"Intinya, dengan posisi kamu sebagai Ketua BEM. Kamu harus berusaha menggerakkan kami, anggotamu supaya bisa mengatasi skandal merugikan ini. Ini kan jatuhnya sudah KKN, Ray!"
"Menyaksikan kasus kolusi beasiswa di kampus ini seperti menonton drama yang udah bisa ditebak alurnya, hanya saja aktornya lebih berpendidikan. Di balik senyuman dan janji manis, ternyata ada permainan kotor yang membuat mimpi banyak mahasiswa pupus. Siapa sangka, integritas yang sering mereka banggakan ternyata hanya sebatas retorika belaka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekahan Luka
RomanceDemonstrasi besar-besaran di Universitas Aludra Laskar memaksa banyak fakultas tutup. Dipimpin oleh Rayyan Budi Cakrawangsa selaku Ketua BEM, mahasiswa mengepung gedung rektorat, menuntut transparansi dalam kasus kolusi beasiswa. Dengan aparat keama...