08

419 50 4
                                    

Beberapa minggu berlalu sejak kunjungan pertama Raizan ke rumah sakit untuk bertemu Lulu. Selama itu, ia semakin sering berkunjung, selalu mencari alasan untuk bertemu dengan suster cantik yang telah mencuri hatinya. 

Setiap kali mereka bertemu, percakapan mereka semakin dalam dan akrab. Lulu, dengan senyum manisnya dan sikap ramahnya, selalu membuat Raizan merasa nyaman dan dihargai.

Namun, hari ini berbeda. Raizan merasa ada sesuatu yang perlu diungkapkan, sesuatu yang sudah lama tertahan di hatinya. Pagi itu, ia berdiri di depan cermin, mematut dirinya dalam kemeja biru muda favoritnya, memastikan semuanya tampak sempurna. 

Hari ini adalah hari di mana ia akan mengungkapkan perasaannya kepada Lulu. Sesampainya di rumah sakit, Raizan langsung menuju ruang perawat. Hatinya berdebar-debar seiring langkahnya mendekati pintu. Ia melihat Lulu sedang sibuk dengan beberapa berkas, tapi ketika ia melihat Raizan, senyumnya langsung merekah.

Mereka berjalan bersama menuju taman yang asri di belakang rumah sakit. Tempat itu sepi dan damai, cocok untuk pembicaraan yang serius. Setelah duduk di bangku taman, Raizan mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian.

Belum sempat mengungkapkan perasaannya, tiba-tiba ponsel Lulu berdering, memecah suasana tenang di antara mereka. Lulu mengeluarkan ponselnya dan melihat layar, wajahnya langsung berubah serius. "Maaf, Raizan, aku harus angkat ini. Kelihatannya penting," kata Lulu sambil menjawab panggilan itu.

Raizan mengangguk, meski hatinya sedikit merasa kecewa. Ia bisa melihat dari ekspresi Lulu bahwa panggilan itu memang mendesak. "Halo, ini Lulu," jawab Lulu dengan nada profesional. "Apa? Sekarang? Baik, saya akan segera ke sana."

Lulu menutup telepon dan menatap Raizan dengan tatapan penuh penyesalan. "Raizan, aku minta maaf. Ada keadaan darurat di unit gawat darurat. Aku harus segera ke sana." Raizan tersenyum, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Gak apa-apa, kak Lulu. Aku ngerti kok. Kerja kamu kan penting."

Lulu meraih tangan Raizan dan menggenggamnya erat. "Makasih, Raizan. Aku benar-benar minta maaf harus ninggalin kamu di sini. Kita lanjutkan obrolan kita lain kali, ya?"

"Iya, pasti. Kamu hati-hati, ya," jawab Raizan sambil tersenyum.

Lulu segera bangkit dan berlari menuju rumah sakit, meninggalkan Raizan sendirian di taman. Raizan duduk sejenak, meresapi momen yang baru saja mereka alami. Meski sedikit kecewa karena harus berpisah lebih cepat, hatinya masih dipenuhi rasa bahagia karena Lulu sepertinya juga menyukai dirinya.

Raizan berdiri dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, pikirannya penuh dengan bayangan Lulu. Ia sadar bahwa menjadi kekasih seorang suster bukanlah hal yang mudah, terutama dengan jadwal kerja yang sering kali tidak terduga. 

Tapi, Raizan merasa yakin bisa menghadapi semua itu demi hubungan mereka.Sesampainya di rumah, Raizan disambut oleh Callie yang sedang duduk di ruang tamu."Hai, Raizan. Gimana tadi ketemu Lulu?" tanya Callie sambil tersenyum.

Raizan tersenyum kembali, meski agak lelah. "Baru ketemu doang. Belum sempet ngomong." Callie menganggukkan kepalanya. Mengetahui alasan mengapa wajah Raizan sedikit murung.

Malam itu, Raizan merenung di kamarnya, memikirkan Lulu. Berharap bahwa secepatnya ia bisa mengutarakan perasaannya. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan selalu mudah, tapi dengan hati yang teguh dan cinta yang tulus, ia yakin mereka bisa melewati semua rintangan bersama.

Dan di sisi lain, di rumah sakit, Lulu menjalankan tugasnya dengan profesionalisme tinggi, namun dengan senyum kecil yang tersungging di bibirnya memikirkan Raizan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Suster's BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang