Lima

361 49 5
                                    

Naka masuk menjenguk sang kakak setelah beberapa jam melakukan proses cuci darah yang rutin di lakukan sejak Langit di nyatakan sakit. Diikuti sang mama dan papa mereka bertiga masuk ke dalam ruangan.

Langit tampak masih lemas dan pucat karena belum begitu lama proses tersebut selesai. Ia melihat ketiga anggota keluarganya menghampiri.

"Sayang, masih lemes?" tanya Riana, mama Langit.

Langit hanya mengangguk pelan.

"Sorry gue tadi dateng telat. Gue dateng pas lo udah mulai," ujar Naka sebagai adik yang tadinya berjanji akan menemani Langit malah dia datang terlambat lantaran ada kelas tambahan.

"Gak papa."

"Hari ini gue diajak temen ke party ulang tahunnya, tapi gue tolak demi abang gue ini," Naka menepuk kepala Langit pelan, membuat Langit mendengus geli.

"Gaya lo."

"Loh serius. Abang gue aja ulang tahun malah cuci darah, masa iya gue mau party sama orang lain." Naka dengan bangga menunjukkan sisi pedulinya kepada Langit karena ia memang sayang kepada Langit.

Riana menyahut haru. "Tumben kamu dek, biasanya berantem mulu sama kakak."

"Ya berantem kan gak serius Ma," balas Naka.

"Yaudah Langit istirahat aja dulu sampe merasa baikan baru kita pulang ya. Papa sama Mama mau urus pembayaran dulu. Naka temenin kakak ya," ujar Raina.

"Siap Ma."

Kedua orangtua Langit dan Naka pun keluar dari kamar rawat Langit, menyisakan Langit dan Naka.

"Bang."

"Hm."

"Sakit ya?"

Langit langsung menatap Naka yang memasang wajah serius. Tumben sekali cowok tengil itu serius, pikir Langit.

"Apaan?"

Naka menghela napas. "Ya itu. Cuci darah sakit?"

"Enak."

"Hah serius?"

Langit memukul pundak Naka. "Ya lo pikir sendiri aja anjir. Lo gak liat kondisi gue kayak gini. Menurut lo gak sakit?" ujar Langit sedikit kesal. Pertanyaan aneh.

Naka memperhatikan sang kakak yang tampak lemah dan wajah pucat. Sepertinya memang sangat sakit sampai Langit yang hiasanya terlihat segar dan kuat kini menjadi lemah dan pucat.

"Pasti sakit sih." Naka mengangguk angguk.

"Kenapa? lo mau gantiin posisi gue? boleh banget," celetuk Langit.

"Ogah lah anjirr. Tapi.... kalo suruh ngasih ginjal gue satu buat lo gue ga masalah."

Seketika hening. Tiba tiba hawa menjadi tegang. Langit belum pernah melihat adiknya berucap dengan wajah seserius itu, tetapi saat melihat itu malah membuat Langit tidak nyaman. Langit lebih menyukai sosok Naka yang tengil seperti biasanya.

"Eyy, lo ngomong apa sih, gak lucu." Langit mencoba mencairkan suasana tetapi justru tertawa kaku yang ia lakukan dan Naka masih belum merubah ekspresinya.

"...."

Langit menarik napasnya sejenak. "Gue pasti sembuh, jadi lo gak perlu berkorban kayak gitu buat gue. Harusnya lo doain gue sembuh, bukan malah bikin keputusan kayak gitu," ujar Langit akhirnya menanggapi ucapan Naka dengan serius.

"Gue harus sembuh, biar ga ada yang menderita. Cukup gue aja sekarang, lo jangan," imbuh Langit.

"Iya deh sorry, soalnya gue gabisa ngelakuin apa apa buat lo, jadi gue ngerasa cuma itu yang bisa gue kasih ke lo. Mama udah ngerawat lo, Papa udah kerja kerja keras buat berobatin lo, sedangkan gue? Apa yang bisa gue kasih?" ungkap Naka mengekuarkan isi hatinya. Sedari dulu Naka selalu memikirkan Langit yang harus menanggung sakit parah. Kedua orangtuanya sudah berbuat banyak untuk Langit, tetapi Naka tidak bisa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Angkasa (dihati) LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang