Angkasa meletakkan sebuket bunga diatas sebuah makam yang tak lain adalah makam ibundanya. Angkasa baru mengetahui tentang ibunya yang ternyata meninggal setelah melahirkannya. Saat itu Angkasa berumur delapan tahun dan tidak sengaja membuat murka Jerryan sehingga Jerryan pun keceplosan membongkar fakta paling menyakitkan yang pernah Angkasa dengar selama hidup.
Ibunya meninggal setelah melahirkan Angkasa, mungkin oleh sebab itu Jerryan tidak begitu menyayanginya. Angkasa sangat kurang mendapat kasih sayang dan perhatian ayahnya karena menganggap Angkasa penyebab ibunya meninggal.
Sejak saat itu Angkasa selalu dilanda perasaan bersalah karena telah membuat ibunya meninggal dunia dan meninggalkan ayahnya selamanya. Angkasa merasa seperti seorang pembunuh. Oleh karena itu Angkasa kemudian sangat rutin mengunjungi makam ibundanya setelah diberitahu oleh Bi Ijah dimana letak makam ibundanya. Hingga Angkasa dewasa, kebiasaannya mengunjungi makam ibunya pun masih ia lakukan hingga detik ini.
Angkasa akan selalu meminta maaf atas kepergian ibunya yang disebabkan olehnya. Angkasa merasa, rasa bersalahnya hanya akan lenyap jika dirinya pun pergi dari dunia. Dengan begitu jadi impas.
Larut dalam ingatan masa lalu, Angkasa pun segera kembali ke alam sadar dan memperhatikan nisan ibunya yang tampak sudah kusam.
Angkasa mengusap batu nisan tersebut agar terlihat lebih bersih. Ia tersenyum teduh.
"Halo, Mama.." sapa Angkasa.
"Mama apa kabar? Maaf ya, Ma, gara gara Angkasa Mama jadi pergi ninggalin Papa. Coba kalo Angkasa gak ada, pasti Mama sama Papa hidup bahagia sekarang," ujar Angkasa. Seperti biasa Angkasa selalu mengungkapkan perasaan bersalahnya dan penyesalannya karena telah lahir di dunia dan membuat ibunya meninggal.
"Ma, Angkasa ulang tahun hari ini. Angkasa udah dewasa ya Ma. Angkasa pingin ngerayain ulang tahun Angkasa, tapi itu sama aja ngerayain kepergian Mama juga kan? Maaf ya Ma, harusnya Angkasa gak boleh seneng seneng dihari ulang tahun Angkasa, tapi gimana ya Ma, Angkasa kesepian Ma, Angkasa butuh perhatian dari temen temen Angkasa karena Angkasa gak pernah dapet perhatian dari Papa," ujar Angkasa panjang lebar mengeluarkan segala perasaannya.
"Tapi Mama gak boleh marah sama Papa. Papa kayak gitu karena Angkasa udah bikin Mama pergi. Papa berhak marah sama Angkasa, Ma." Angkasa menarik napasnya sejenak. Ia tidak ingin menangis lagi karena merasa dirinya sudah semakin dewasa, apalagi hari ini usianya bertambah. Jadi Angkasa harus jadi lebih kuat.
"Ma, semoga kita bisa ketemu nanti ya Ma. Tunggu Angkasa.,"
****
Hari ini adalah jadwal Langit ke rumah sakit yang sudah rutin ia lakukan sejak beberapa bulan yang lalu setelah penyakitnya dinyatakan semakin parah. Proses yang begitu menyakitkan terpaksa harus Langit jalani demi kelangsungan hidupnya.
"Ma, Langit mau ke taman bentar ya," ucap Langit kepada sang mama yang mengantarnya ke rumah sakit.
"Mau ngapain sayang?" Tanya Sarah, Mama Langit.
"Bentar Ma, mau ngasih ini ke anak anak di rumah sakit ini biar mereka semangat," kata Langit sambil menunjukkan bingkisan besar yang isinya hadiah hadiah kecil untuk para pasien anak anak di rumah sakit agar mereka lebih semangat untuk sembuh.
"Yaudah.. Jangan lama lama ya, hati hati juga," balas sang Mama khawatir.
Padahal Langit masih baik baik saja tapi mamanya sudah begitu overprotektif padanya.
"Iya, Ma."
Sejak Langit di nyatakan sakit, ia jadi lebih menghargai kondisinya saat ini yang masih terbilang cukup baik. Bukan tidak mungkin Langit akan semakin melemah di kemudian hari, maka saat sekarang dirinya masih kuat untuk terlihat baik baik saja maka ia ingin menghargai setiap nikmat sehat yang masih bisa dia rasakan sekarang.