Seorang lelaki berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih yang lengannya di gulung dan juga celana pensil berwarna hitam tengah duduk di sebuah taman di alun-alun kota bertemakan bunga-bunga mekar bermacam warna serta di tambah serangga bersayap lebar yang beterbangan dari bunga ke bunga lainnya menjadi penambah suasana romantis di taman itu.
Lelaki tersebut menunduk, menatap setangkai bunga mawar merah di tangannya. Dia seperti sedang menunggu seseorang yang sudah di tuding untuk mendengarkan tutur kata kasih sayangnya. Kakinya bergoyang kesana-kemari seolah tidak sabar bertemu dengan seseorang itu.
Tak lama kemudian, ia merasa ada jari jemari yang melingkari bahu sebelah kanan nya dari belakang. Lelaki itu mengulum bibir mencoba untuk menahan senyuman. Dia menghela nafas lalu perlahan berdiri dan berbalik. Senyumnya hilang ketika ia dijatuhkan oleh harapannya.
"Nunggu aku ya? hihihi!"
Nathan. Lelaki yang sedari tadi menunggu seorang gadis impiannya ternyata berujung dihancurkan oleh Devano yang entah darimana tahu bahwa ia pergi ke taman.
"Kenapa lo ada di sini?" Nathan kembali berbalik lalu duduk di kursi besi yang Panjang-itu.
Devano berdecik, ia duduk di sebelah Nathan lalu mengangkat dan melipat kaki kanannya ke atas kaki kirinya. "Harusnya gue yang nanya, lo ngapain di sini? Mana bajunya rapi banget lagi, udah kayak nunggu pasangan hidup."
Nathan memutar bola matanya, merasa jengkel dengan semua temannya yang selalu menguntit kemanapun ia pergi.
"Suka suka gue. Emangnya kenapa? Kalau gue punya pacar juga bukan lo yang biayain."
"Emang bukan gue yang biayain lo, Than. Tapi kita masih berada di jenjang pendidikan. Otak kita jangan diisi sama hal-hal yang nggak berguna gini. Di sini gue bukan ngelarang lo buat ngelakuin apapun. Gue cuma nggak mau masa remaja yang harusnya di isi pelajaran buat bekal tua nanti, malah terhambat karena ada kata 'pacaran'." Devano berhenti lalu mengusap lembut bahu Nathan agar temannya itu tidak tersulut emosi dengan perkataannya.
"Dengerin gue, ya? Jalan kita masih panjang. Namanya jodoh nanti pasti ketemu kok."
Nathan menundukkan kepalanya. Dia bukannya marah, tetapi malah merasa malu karena tidak bisa menjaga diri sampai harus di nasehati oleh remaja yang umurnya lebih muda darinya. Nathan merasa tertampar, terjungkal ke dunia nyata.
"Kok, gue jadi gini ya sekarang?" Suara Nathan terdengar lirih, hampir diselimuti dengan kesedihan.
"Normal. Semua anak remaja pasti mau ngerasain apa itu 'cinta'. Dan lo salah satunya. Tapi kadang cinta juga menimbulkan hasrat tersendiri untuk melakukan hal brengsek. Makanya gue nasehatin lo kayak gini. Maaf kalau gue lancang. Masih untung gue yang ketemu lo di sini, gimana hal nya kalau Zayden? Bisa-bisa waktu malam yang harus di pakai buat istirahat eh terganggu sama ceramah dia."
"Makasih udah ngertiin perasaan gue, Dev."
"My pleasure. Um.. by the way, pacar lo siapa emang?"
Nathan mengerutkan keningnya, dia mengangkat kepala, menatap ke arah Devano. Ia terkekeh sebelum mulai bicara, "Bukan pacar, cuma dekat aja. Jadi, cewek itu namanya Killa. Dia baik, cantik, manis."
Devano tersentak kaget hingga memundurkan tubuhnya dari Nathan. "Killa? Yang rumahnya di depan gang melati itu, ya? Dua kilometer dari sini? Bukannya dia udah punya pacar?"

KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]
Random[PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa ke-enam remaja laki-laki pada tahun 2024 ketika menempati sebuah rumah bernamakan "Rumah Kita" menuai perbincangan warga sekitar. Tak jarang mereka berfikir, "mungkinkah...