13

201 54 14
                                    

Kenzie menatap pria dengan kacamata anti radiasi yang berjarak kisaran 5 meter di depannya. Seno menoleh, menatap kembali ke arah Kenzie. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 1 jam lalu, namun keempat remaja itu masih berdiam diri di kelas. Bahkan, security sudah berkali-kali menyuruh mereka untuk pulang, tapi mereka terus menolak dengan alasan masih membersihkan kelas karena mendapat hukuman dari guru. Untung saja security mengiyakan setelah 3 kali menyuruh. Entah sudah malas menegur atau memang mudah untuk dikelabui.

Sekolah yang sudah sepi membuat keadaan menjadi sunyi, hal itu semakin menambah kesan mencekam apalagi jika teringat tentang naasnya kondisi tubuh renan saat ditemukan meninggal semalam.

"Masih nggak mau melibatkan polisi?" Daren memulai percakapan, memecahkan keheningan yang sedari tadi menyelimuti mereka.

"Jangan," sahut Kenzie dengan menyibak rambutnya ke belakang.

"why? Apa yang ada dipikiran lo? Narel meninggal, disusul sama Rafka. Sekarang? Renan juga mati! MATI, KEN!" Teriak Daren sambil memukul meja dihadapannya. Suara pukulan itu bergema keseluruh sudut ruangan.

"Mungkin Kenzie nggak bermaksud ngomong gitu. Lo tau sendiri kan, kalau polisi di kota kita kayak gimana? Selain kerjanya yang lambat, gue juga khawatir misalnya si pelaku udah ketemu tapi polisi malah ngasih hukuman yang gak setimpal atas perbuatan pelaku itu." ucap Seno. Ia lalu berdiri, memasukkan kedua tangan ke saku celana dan berjalan menuju pintu keluar kelas. "Mendingan kita sekarang pulang. Cuaca mendung lagi, kayaknya sekarang musim hujan." sambungnya.

"Kita nggak bisa pulang dengan tangan kosong gitu aja tanpa bawa bukti satupun kalau Renan itu mati di bunuh!" Alvaro berkata, nadanya marah.

"Tapi nyatanya apa? Lo ingat kan rekaman cctv itu? Flashdisk nya udah ditangan kita, tapi tiba-tiba aja nggak ada, alias hilang!" Sahut Kenzie.

Seno mendekati Kenzie. Sambil berjalan, seno mengacak rambutnya. "Siapa coba yang ngambil?! Gue masih ingat kalau Flashdisk itu gue masukin ke dalam tas!"

"Kenapa? Kenapa kita selalu kena sial? Jaket itu udah kita bakar, tetapi si pria itu masih bisa meneror kita pakai jaket Narel. Lama-lama gue curiga. Apa jangan-jangan Narel masih hidup?"

Kenzie, Seno dan Alvaro terdiam mendengar untaian kata yang diucapkan oleh Daren. Sebuah pemikiran yang sama mulai terlintas di benak mereka masing-masing.

"Gue gak yakin. Jantung Narel udah di tusuk pakai pisau, mana mungkin dia masih bisa hidup. Lagian, kita liat sendiri kan saat proses pemakaman Narel berlangsung?" kata Kenzie, suaranya rendah.

"Kita pulang aja. Gue mau mandi, udah keringetan mikirin ini doang ." singkat Alvaro. Ia melangkah keluar dari kelas, ketiga temannya mengekorinya di belakang.

Saat sudah berjalan hingga lapangan sekolah ingin menuju parkiran, mereka terkejut ada suara yang tiba-tiba terdengar.

"Seperti anak ayam." Suara yang menghentikan langkah mereka untuk pulang. Nadanya lembut, lirih dan menenangkan saat di dengar.

Masing-masing kepala mereka mendongak, mencari sumber suara yang berasal dari samping kiri mereka. Alangkah terkejutnya empat remaja itu ketika melihat ada seorang pria berpakaian formal lengkap dengan dasi, seakan baru saja pulang bekerja dari kantor.

Pria itu tersenyum, rambutnya yang berwarna light blonde itu menyala saat terkena sinar matahari petang.

"Siapa lo?" Kenzie menegakkan tubuhnya, memasang ekspresi datar saat bertanya. Tapi ketika Kenzie menatap wajah pria itu lamat-lamat, ia merasa hatinya tenang, Kenzie juga merasakan kedekatan yang amat dalam di lubuk hatinya.

RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang