01

753 132 75
                                    

Tujuh remaja laki-laki saat ini sedang mengobrol santai di sebuah rumah kecil. Sengaja mereka mengumpulkan uang sekitar 1 tahunan dengan menyisihkan uang sekolah hanya untuk membeli rumah itu, agar bisa selalu berkumpul jika bosan dirumah masing-masing. Malam yang dihiasi dengan ribuan bintang menyebar di penjuru angkasa bebas, membuat keadaan di luar sana tak terlalu gelap, ditambah dengan cahaya bulan purnama yang menembus masuk kedalam rumah melalui beberapa celah kecil di rumah tersebut.

Suasana hening ketika mereka kehilangan konteks pembicaraan saat itu. Hanya ada suara jangkrik dan kicauan burung. Hingga Kenzie mulai memecahkan keheningan dengan berdeham sebelum berbicara sambil memakan keripik singkong.

"Narel lagi-lagi ngalahin gue pas lomba semaphore. Gimana kalau kita jalan-jalan aja buat ngerayainnya?"

Narel dan Kenzie adalah anak Pramuka dari SMK JAYA BAKTI, sekolah lama sebelum mereka pindah ke SMA LENTERA BANGSA dan bertemu dengan lima pria lalu menjadi sahabat-sahabatnya yang saat ini berada di rumah ini. Dua laki-laki itu selalu mengikuti lomba-lomba Pramuka yang diadakan di sekolah manapun. Walau di SMA mereka sudah tidak mengikuti Gerakan kepramukaan, tapi ingatan mereka tentang simbol serta pelajaran tentang Pramuka tetap melekat di pikiran Kenzie dan Narel.

"Ide bagus. Suntuk juga kalau terus-terusan di rumah, udah kayak pengangguran. Tapi emang pengangguran, sih," Daren menjawab. Ia menggerakkan tangan kanan, mengangkat menuju kepala, menggaruknya sambil menyengir lebar.

"Gimana kalau ke Pantai? Besok kita pergi, mumpung weekend juga, kan?" Ucap Narel sambil menyeruput secangkir teh miliknya. Semua orang mengangguk setuju.

Tidak semuanya.

Seno, ia mengerutkan kening saat mendengar rekomendasi dari sang sahabat.

"Kenapa harus pantai? Bukannya masih banyak tempat wisata lain yang masih bisa kita kunjungi? Lagian, gue takut kalau airnya tiba-tiba meluap."

Narel, lelaki berkulit putih, memiliki mata bulat, berwajah tirus itu meletakkan kembali cangkir teh nya, lalu tersenyum lebar sebelum menjawab. "Gue suka pantai dan gue yakin kalau besok kondisi airnya bakal baik-baik aja."

"Udah, Sen. Kita bakal baik-baik aja, nggak ada yang perlu ditakutin." Sambung Renan yang berusaha meyakinkan Seno.

"Tapi, perasaan gue juga nggak enak sekarang." Sanggah Rafka, gelagatnya tampak gelisah bak menyimpan rasa takut yang begitu mendalam.

"Lo sama Seno kenapa, sih?" Alvaro yang sedari tadi hanya diam, sekarang ia sudah hampir naik pitam. Suaranya yang tegas mampu membuat jantung sahabat-sahabatnya berdetak lebih cepat. Mata lelaki itu menyorot tajam, menatap keenam temannya secara berurutan.

"Besok bawa makanan, kan? Gue cuma takut kalau-kalau kita kelaparan." Rafka berujar dengan senyuman yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Sontak saja hal itu membuat Renan beserta yang lainnya kesal.

"Bawa lah. Emangnya lo mau cuma minum air pantai? Jadi, setuju gak, kalau besok kita pergi ke pantai?" Tanya Daren kembali untuk memastikan.

"Ngikut." Ucap Seno dengan singkat, tak mau memperpanjang perbincangan.

"Setuju!" Kenzie tampak excited.

"Gue setuju."

"Me too."

"Of course."

RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang