Tidur dalam keadaan dingin di tambah rintikan hujan, itu yang di rasakan Nathan. Namun, sampai sekarang ia masih tertidur nyenyak walau hanya berselimut kain tipis. Karena sengitnya perdebatan yang terjadi pada tadi petang, Nathan menjadi malas untuk tidur satu kamar dengan yang lainnya. Dia memutuskan untuk tidur sendirian di dalam kamar kedua. Merasa masih sakit hati dengan perkataan Maven yang menuduhnya sebagai pelaku teror.
Perlahan rintikan hujan itu berhenti, meninggalkan suasana malam hari yang dingin mencekam karena masih ada beberapa tetes air berjatuhan dari atap rumah ke tanah, membuat suara-suara, memunculkan kegelisahan dalam tidurnya Nathan. Tak jarang ia beralih posisi ke sana ke sini untuk mencari kenyamanan tidur, namun tetap saja hal itu tidak membantu. Nathan akhirnya membuka mata dan melirik ke arah jam yang bergantung di dinding atas lemari pakaian tua di depannya. Di situ Nathan menyadari bahwa sekarang sekarang baru pukul setengah dua dini hari. Merasa jika sudah mendekati waktu subuh, ia memutuskan untuk bangun dan turun dari tempat tidur. Nathan berjalan ke luar dari kamar, membuka pintu kamar pertama, dimana teman-temannya semua tidur.
Namun, belum niatnya terlaksana, tepat di depan pintu kamar pertama, di situ langkah kakinya terhenti karena mendengar suara benda jatuh berasal dari ruang tamu. Nathan menolehkan pandangannya mengarah ke ruang tamu yang gelap. Matanya menyipit untuk memperjelas penglihatannya. Nathan memilih untuk mengabaikan suara tersebut, menganggap itu hanyalah ulah tikus yang tidak sengaja menjatuhkan sesuatu.
Matanya kembali menatap gagang pintu dan membukanya. Di dalam keadaan kamar remang-remang, hanya di soroti lampu tidur yang tidak terlalu terang, sayup-sayup Nathan masih bisa melihat temannya masih tidur dengan nyenyak. Bahkan sampai posisi tidur sudah tidak menentu. Sebelah kiri kaki Devano berada di atas perut Maven dan wajah Dafian berada di depan lutut William. Tidur mereka terlihat acak-acakan.
Tapi, di saat itu dahi Nathan berkerut heran karena melihat ada satu kejanggalan. Tidak ada Zayden di sana. Nathan kembali berbalik dan keluar dari kamar tidur itu. Dia mengalihkan pandangannya ke sekeliling, termasuk ke ruang tamu. Jantungnya berdetak kencang kala melihat ada aktivitas malam yang terjadi di ruang tamu tersebut. Terlihat siluet seseorang bergerak ke sana dan kemari seolah sedang mencari sesuatu. Meski tidak terlihat dengan jelas siapa yang berada di sana, Nathan yakin bahwa itu adalah orang asing. Jelas dia berfikir demikian. Kalau itu orang rumah, untuk apa ia tidak menyalakan lampu terlebih dahulu?
Nathan menutup pintu kamar tidur, berjalan perlahan menuju ruang tamu. Walau tersemat beberapa pikiran negatif, Nathan terus berjalan menyusuri lorong menuju ruang tamu dengan sisa-sisa keberaniannya. Nathan berhenti ketika sudah berada di sana. Namun ia tidak langsung menggerebek orang itu, melainkan mengintipnya terlebih dahulu.
Di situ nafas Nathan tercekat, kakinya seolah lumpuh untuk berdiri tegak. Nathan mengundurkan diri, bersandar di dinding dan menutup matanya.
"Dia lagi?" Gumam Nathan dengan suara yang sangat pelan. Dia merasa heran sekaligus takut karena seseorang yang beraktivitas sejak tadi ialah badut dan bahkan sekarang badut itu berani masuk ke dalam rumah mereka. Ia membuka mata, mencondongkan tubuh, mencoba untuk kembali mengintip.
Seakan mengetahui bahwa dirinya sedang di intip, dengan gerakan patah-patah badut itu berbalik dan tatapannya langsung bertemu dengan mata Nathan. Mereka berdua saling pandang memandang selama beberapa detik sebelum si badut itu menampilkan senyuman lebar lalu mengambil sebuah pisau tajam di atas sofa.
Tubuh Nathan membeku, kakinya kaku untuk berlari melarikan diri sedangkan badut itu sudah berjalan ke arahnya. Nathan menutup mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Tapak kaki seseorang yang mendekat semakin terdengar jelas di telinga. Dia sudah pasrah kalau malam ini ajal menjemputnya.
Sebuah jari-jemari dingin yang melingkari pergelangan tangannya membuat Nathan semakin ketakutan. Mulutnya bergerak untuk melafalkan doa-doa terbaik kepada Tuhan. Hembusan angin tipis di lehernya yang tiba-tiba, memancing kepasrahan Nathan pada kematian semakin besar. Doa-doa yang tadinya hanya ia gumamkan, kali ini Nathan membacanya dengan nada keras.
"INI GUE-WILLIAM! BUKAN SETAN!"
Sontak Nathan membuka mata. Dia memalingkan wajah ke arah ruang tamu dan menghembuskan nafas, lega karena badut itu sudah tidak ada di sana.
Melihat tingkah aneh dari Nathan, William menepuk bahu temannya itu. "Ada yang salah?" tanya nya yang juga menatap ke ruang tamu.
"Tadi ada badut di rumah kita. Gerak geriknya kayak lagi nyari sesuatu. Ternyata yang dia cari, itu pisau. Terus dia jalan ke arah gue sambil megang pisau itu, Wil.." Nathan terengah-engah, mencengkram ujung baju William.
William sangat tahu apa yang dirasakan oleh Nathan. Dia menganggukkan kepalanya lalu berbicara dengan lembut, "Sekarang badut itu udah nggak ada lagi, kan? Ayok ke kamar."
Nathan mengikuti langkah William menuju kamar tidur. Selama berjalan, mereka berdua terus membicarakan hal lain guna melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Hingga obrolan mereka mengarah pada Zayden yang selalu menunjukkan gelagat aneh.
"Zayden nggak ada di kamar tidur? Soalnya tadi gue liat kalian cuma berlima."
"Entah," jawab William. "Itu Zayden!" ujarnya sembari menunjuk ke depan. Dari gelapnya ruangan yang menyambungkan ke arah dapur, terlihat sosok jangkung berjalan mendekat ke arah kamar sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan.
"Zay," panggil Nathan. Mereka berdua menghampiri Zayden yang berhenti di depan pintu kamar tidur saat mendengar namanya di panggil.
"Hm?" Zayden bertanya tanpa bicara, kepalanya saja tidak menoleh kepada siapa yang memanggilnya.
Nathan dan William sempat berkedip mata, saling senggol senggolan untuk bertanya pada Zayden. Nathan menggaruk belakang lehernya, ia mengangguk pasrah, mengalah karena dirinya lebih dulu lahir dibandingkan William.
"Lo tadi dari mana aja? Soalnya pas gue masuk ke kamar ini, lo nggak ada di tempat tidur." Nathan bertanya sekaligus menyatakan gelombang penasarannya dengan tempo suara yang lirih.
Sambil memutar gagang pintu, mereka bertiga masuk ke dalam kamar. Zayden tampak terdiam dan duduk di tempat tidur, menatap Dafian, Devano serta Maven yang masih tidur dalam keadaan pulas.
"Buang air kecil." jawabnya seadanya. Suara Zayden yang dingin jelas terlihat bahwa ia sepertinya tidak ingin membahas serta melanjutkan pembicaraan ini.
Meski Nathan dan William masih belum puas dengan jawaban yang diberikan Zayden, mereka tetap mengangguk paham karena juga takut ingin berbicara disaat raut wajah datar Zayden seakan menembus jantung mereka berdua.
Mereka bertiga akhirnya berbaring di atas kasur, dirasa masih ada tempat yang cukup untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju alam mimpi. Wajah William berhadap-hadapan dengan wajah Zayden. Kedua lelaki itu saling bertatapan.
"Tidur." Zayden menegaskan, membuat nyali William seketika menciut dan ia menutup matanya walau sekarang dirinya susah untuk kembali terlelap.

KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]
Random[PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa ke-enam remaja laki-laki pada tahun 2024 ketika menempati sebuah rumah bernamakan "Rumah Kita" menuai perbincangan warga sekitar. Tak jarang mereka berfikir, "mungkinkah...