Raina baru saja hendak mendarat di kasurnya yang empuk ketika pintu kamarnya dibuka secara tiba-tiba oleh Ciara yang datang membawa tas ranselnya yang gemuk; berisi seragam sekolah untuk esok, sepatu dan barang-barangnya yang lain. Raina memutar matanya malas, bukan hal yang baru apabila Ciara menganggap rumah ini sebagai rumahnya sendiri.
"Kok lo di kamar, si, orang bunda lagi buat kue, bukanya dibantu." Cicit Ciara seraya meletakkan barang bawaannya di dekat lemari pakaian Raina. Saat ia datang, bunda sedang membuat pesanan kue di dapur.
"Emang lo pernah liat gue bantu buat kue? Tuan puteri terima makannya aja." Sahut Raina, yang kali ini sudah mendarat dengan aman di atas kasurnya.
"Durhaka." Cetus Ciara seraya menatap Raina penuh permusuhan.
"Ih, kalo kuenya udah jadi juga lo ikut makan, Ci. Jangan sok suci." Balas Raina, turut membalas tatapan tajam yang Ciara berikan.
Tak lama kemudian, bunda membuka pintu membawa piring berisi cookies buatannya. Ia tersenyum hangat kepada Raina dan Ciara yang sedang saling adu tatap. Kehadiran bunda memecah perseturuan dingin antara keduanya.
"Eh, terimakasih, bundaku sayang." Sahut Ciara seraya langsung beranjak dari tempat tidur dan mengambil alih sepiring cookies itu dari tangan bunda.
"Eh, timikici, bindiki saying." Kata Raina, mengikuti perkataan Ciara dengan nada mengejek. Ia tak beranjak dari tempat tidur, hanya mengirimkan ciuman terbang untuk bunda seraya mengedipkan sebelah matanya manja kepada bunda.
"Jangan tidur malem-malem, ya." Kata bunda seraya membalas kedipan mata Raina dan tersenyum manis ke arah Ciara, sebelum akhirnya menutup pintu kamar Raina dan meninggalkan dua remaja yang langsung berebut mengambil tumpukan cookies yang ada di piring.
"Bantuin dulu baru makan." Ucap Raina dengan nada sebal.
"Ya kalo udah jadi harus dimakan, masa nolak rezeki." Sahut Ciara.
Keduanya terbalut dalam keheningan cukup lama. Ciara asik melakukan chatting dengan teman-temannya, Ciara memang tipikal siswi yang memiliki banyak kenalanan, lain dengan Raina yang fokus pada dunianya sendiri tanpa sadar bahwa dirinya cukup terkenal. Raina asik berselancar di segala penjuru sosial media yang terpasang di ponselnya, mencari-cari akun milik Zio untuk ia ikuti segera. Raina mencarinya di google, facebook hingga akun belanja online.
"Eh, mau bayar gue sejuta ga?!" Tanya Ciara tiba-tiba dengan semangat, membuat konsentrasi Raina terganggu hingga gadis yang kini sedang menyamar menjadi detektif itu menoleh ke arahnya.
"Ngapain? Rugi!" Jawabnya yang membuat Ciara langsung mendengus kesal.
"Yaudah kalau ga mau nomor Zio."
"Eh!" Raina tersentak, ia beranjak dari posisinya dan bergeser mendekat ke arah Ciara yang sedang berbaring di karpet beludru di lantai. Ia hendak merampas ponsel Ciara secepat kilat, namun rupanya Ciara lebih cepat.
"Tadi katanya rugi!" kata Ciara, membuat Rain tersenyum lebar seraya menarik Ciara ke dalam rangkulannya.
"Hehehehe, bagi dong."
"Bayar, ya? mau ga? kalo gamau yauda gausah, tapi ga dapet nomornya."
"Lo aja dapetnya gratis kan? ga boleh pungli dong, Ci." Kata Raina tak terima. Keduanya selalu saja berdebat saat disatukan, memperdebatkan banyak hal tak penting yang sebenarnya sangat bisa untuk tidak diperpanjang.
"Tuh, gue kirim di Whatsapp." Ucap Ciara yang membuat Raina langsung beranjak lagi, kembali ke atas kasur untuk meraih ponselnya. Raina tersenyum senang, tak menyangka mendapatkan nomor Zio ternyata tak sesulit itu.
"Dapet darimana, Ci?" tanya Raina, penasaran juga sebab ia yakin Arkan tak mungkin memberikan nomor telepon Zio, mengingat kedua cowok itu adalah teman dekat.
"Fatur, yang satu ekstrakurikuler sama Zio di basket. Gue kan lagi deket sama dia, hehe." Jawab Ciara sambil tertawa kecil, merasa malu mengatakan dirinya sedang dekat dengan nama yang berbeda sudah tiga kali dalam satu bulan ini.
Raina memutar matanya jengah, menyadari betapa pemainnya Ciara. Tapi, masa bodo perihal itu. Raina bisa memberikan kultum kepada Ciara nanti saja, sekarang adalah saatnya ia menghubungi cintanya, Zio Arnamawa.
Raina: Halo, ini Raina
Raina: Disimpan ya nomornya, siapa tau nanti uda jatuh cinta biar ga repot-repot cari nomor gue lagi
Raina: Gue dapet nomor lo karena takdir memang berniat menyatukan kita aja si hehehe
Raina: Aamiin
Raina cekikikan sendiri saat mengirimkan pesan untuk Zio itu. Untuk pertamakali dalam hidupnya, setelah jatuh cinta dengan ribuan karakter fiksi yang dibaca dan ditontonnya, akhirnya Raina dapat menemukan salah satunya di dunia nyata.
***
Perusahaan keluarga Zio telah menjalin mitra dengan perusahaan yang dimiliki keluarga Oliv. Malam ini ada acara meriah untuk merayakan keberhasilan papa Zio dalam membuka pabrik barunya di Amerika. Di acara itu, tentu saja berbagai macam pembisnis hingga pejabat hadir, begitu juga dengan anak-anak mereka. Olivia, Zio dan Arkan sudah tak asing lagi dengan acara-acara seperti ini.
Zio memerhatikan Oliv yang sedang bercengkrama dengan seorang pria yang tampak lebih tua darinya sekitar 5 tahun. Oliv tampak senang, wanita itu memang pintar bergaul dan pintar melakukan lobby, kriteria yang tepat untuknya dapat melanjutkan perusahaan keluarganya. Walaupun tau keduanya hanya membicarakan seputar bisnis, Zio tetap memerhatikan keduanya lekat, dalam tatapan dinginnya yang menusuk.
"Biar gue yang jagain, Zi, lo kan ga suka sama Oliv." Ucap Arkan yang sejak datang memerhatikan ke mana sorot mata Zio tertuju.
Zio mengalihkan pandangannya ke arah Arkan, "Cowok itu mesum." Ujarnya. Ia sering mendengar cerita tentang cowok itu dari orang-orang yang bekerja dengannya, Zio suka menguping hingga dia memiliki banyak info yang sedikit orang tau.
"Iya, biar gue yang jagain Oliv. Lo fokus aja nikmatin acaranya." Kata Arkan, seakan sengaja mengungkit perkataan Zio beberapa hari lalu, saat Zio mengatakan ia tidak pernah menyukai Oliv, baik dulu maupun sekarang.
"Lo bilang lo ga suka sama dia, lo juga ga peduli kalau dia salah paham sama perlakuan lo. " Arkan mengatakannya seraya memerhatikan Oliv yang sedang asik berbincang. Sejak dulu, arkan menyukai Oliv lebih awal. Namun, Oliv malah jatuh pada Zio yang menjaganya murni karena Zio menganggapnya seorang adik.
"Itu fakta, gue memang ga pernah ada rasa sama dia." Sahut Zio. Ia mengalihkan pandangannya dari Arkan saat ponselnya bergetar singkat, menandakan ada pesan masuk.
Kening Zio mengernyit melihat pesan dari nomor tak dikenal itu. Zio tak kenal nomornya, tapi Zio kenal dengan foto profil yang terpasang di nomor itu. Zio tersenyum miring, tak habis pikir dengan kehadiran cewek gila seperti Raina di hidupnya.
***
Malam semakin larut, rumah Raina sudah tertutu rapat dan bunda sudah terlelap, begitu juga dengan Ciara yang terlelap lebih dulu dari Raina. Raina masih bergelung di balik selimutnya, menatap ponselnya dengan gelisah menunggu balasan pesan dari Zio. Di halaman rumahnya yang tanpa pagar, seseorang di balik jubah hitam berdiri di sana, memerhatikan jendela kamar Raina yang temaram karena cahaya dari lampu tidurnya.
Seseorang itu meletakkan sebuah kotak berhiaskan pita merah muda di depan pintu rumah Raina, lalu mematikan saluran listrik rumah Raina seakan tau Raina sangat takut pada gelap. Di tengah keheningan dengan lampu yang tiba-tiba padam, Raina terperanjat. Cahaya dari ponselnya menjadi satu-satunya sumber penerangan di tengah kegelapan itu, menyilaukan, persis seperti sorot cahaya mobil yang menjadi satu-satunya sumber cahaya dari kegelapan yang merangkul Raina malam itu.
Raina terdiam, tubuhnya panas dingin hingga keringat sebesar biji jagung terus mengalir dari pelipisnya. Raina tak berani bergerak, sekalipun hanya sabatas meraba kasurnya untuk menemukan keberadaan Ciara. Perlahan, deru napasnya terdengar, Raina merasa sesak, bertepatan dengan terbitnya senyum miring dari seseorang di balik jubah di bawah sana.
YOU ARE READING
Ooops! It's Rain
Teen FictionRaina benci hujan sedangkan Zio menyukai hujan. Kehadiran Raina yang secara tiba-tiba di kehidupannya membuat Zio membenci hujan, hujan yang melambangkan arti nama Raina, bukan hujan sungguhan. Intinya, Zio membenci Raina. Keduanya bagai langit dan...