Bagian Lima

197 21 13
                                    

Keyzan baru saja terlelap, mungkin karena pengaruh obat dia bisa tidur secepat ini—padahal biasanya dia selalu tidur larut, itu pun tanpa Brazka tahu sebab kakaknya tersebut sudah terlalu lelah dengan tugas-tugas kuliahnya. Keyzan juga paham kalau semakin malam dia tidur, maka semakin tinggi pula tekanan darahnya; bagaimanapun tensi juga memengaruhi kinerja pompaan jantungnya. Tapi, bukan Keyzan yang meminta seperti itu, dia sungguh tidak ingin terjaga semalaman. Sayangnya, dia punya beban pikiran yang tak boleh seorang pun tahu.

“Kamu juga harus tidur, Braz.” Cayden berujar sembari mendaratkan sebelah tangannya di tengkuk Brazka. “Key nggak bakal ganggu tidurmu malem ini, kok.”

Mereka bertiga memang sedang memperhatikan cara Keyzan mendengkur, adik bungsu Li ini sama sekali tidak bisa menyembunyikan gurat-gurat lelah yang dia miliki di hadapan ketiga kakaknya. 

“Lagian kamu besok masih ada kelas.” Jourta juga tahu-tahu saja melingkarkan sebelah tangannya di leher Brazka. “Kayaknya, kamu kurang mentingin kesehatanmu, loh, Braz.”

Namun, Brazka hanya menggeleng lemah—separuh dirinya memang membenarkan ungkapan Cayden dan Jourta, namun separuh lain dirinya merasa bahwa pura-pura acuh dengan keadaan Keyzan sama sekali bukan dirinya. Maksud Brazka tidak berlebihan, dia sengaja menjaga jarak dari Keyzan untuk memendam rasa malunya—ya, dia malu sebab pernah menjadi seseorang yang begitu mengecewakan. 

Bukankah Keyzan tidak seharusnya memiliki panutan bejat sepertinya? Bukankah Keyzan tidak seharusnya memuja dan memujinya sebagai kakak terbaik?

“Nggak, aku nggak papa, Kak.” Tadinya Brazka ingin menegaskan egonya, tapi kini dia malah berlutut dan seketika wajahnya menghadap wajah Keyzan. “Apa Keyzan punya hari-hari yang berat, ya, Kak?”

Cayden dan Jourta—yang masih berdiri gamang—saling bertatapan. Mereka juga ingin menjawab pertanyaan Brazka dengan sebuah sanggahan, tapi nurani mereka sudah terlanjur menyangkal dengan alihan diri, seolah enggan terlibat, seakan enggan penasaran—perkara Keyzan yang memang butuh sandaran.

Jourta sempat mengesah, lalu dia juga berlutut mensejajari posisi Brazka, baru berbisik, “Aku yakin Key pasti bisa ngatasin semuanya. Dia udah gede, dia sendiri bilang nggak mau dianggap kayak anak kecil, kan?”

“Aku punya firasat, deh," gumam Brazka. “Key kayak ada yang dipikir.”

Cayden pun turut berlutut demi menyamakan posisi dengan dua adiknya, dia lantas menghela napas panjang dan menyambung, “Aku juga yakin kalau Key bisa belajar dari pengalamannya. Dia nggak mungkin ngeremehin penyakitnya lagi, dan dia juga nggak mau bikin kita khawatir, kan?”

Memang ada benarnya ucapan Cayden dan Jourta, toh Brazka tahu Keyzan sudah berumur tujuhbelas tahun hampir delapanbelas tahun. Dia sudah di usianya untuk mandiri, dia sudah di fasenya untuk memutuskan sesuatu yang baik dan buruk bagi dirinya sendiri. Tapi tetap saja, masa lalu Brazka serasa tiba-tiba mendominasi ikat persaudaraannya dengan Keyzan.

Baru saja Brazka ingin menyetujui argumen kedua kakaknya, mata sipitnya justru jeli lebih dulu untuk menemukan bilur dan lebam—yang sewarna biru pekat—ada di pergelangan tangan Keyzan.

Brazka jadi cepat-cepat menggulung lengan piyama Keyzan dan bukan dia saja, termasuk Cayden dan Jourta sigap menyatukan alis mereka. 

“Apa-apaan ini?” Cayden selalu jadi yang paling pertama protes jika menyangkut adik-adiknya. Dia menoleh pada Jourta dan Brazka yang ada di sebelahnya, lalu duduk di tepi ranjang Keyzan dengan gerakan tidak serantan. “Kalian tahu masalah ini?”

Jourta tidak terkejut atas reaksi Cayden barusan, dia pun sama tidak menduganya jika hal semacam itu menimpa Keyzan. Saat ini, satu-satunya hal yang mencuri atensi mereka bertiga hanya memar-memar yang memenuhi lengan Keyzan. Jourta jadi menggeleng berulang kali, seketika merasa sangat gagal menjadi seorang kakak sebab dia terhitung lengah.

This is Home! {Season 2}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang