Bagian Enam

136 23 7
                                    

“Beliin marlboro satu, dong," kata Randy sambil memberi selembar uang seratus ribu ke Roby. “Aku pengen ngasih tahu Key enaknya nyebat."

Keyzan justru masih terperangkap di bilik karaoke ini tanpa bisa meminta pertolongan. Dia merasakan alkohol tadi masih membakar tenggorokannya, bagaimanapun dua botol bir yang secara terpaksa dia tenggak jelas tidak bisa seluruhnya  tertelan, sehingga sekian cairan itu berakhir membasahi seragamnya. Kini mata bulat Keyzan seketika sayu, dia tidak bisa menentukan antara harus membuka atau menutup kelopaknya.

Randy lantas membersihkan telapak tangannya dan beranjak dari pangkuan Keyzan. Dia berdiri angkuh dengan kacakan pinggang sekarang. Tapi ternyata Roby belum memenuhi titahnya sehingga dia jadi harus memiringkan kepala sambil bersedekap angkuh.

“Tunggu apa? Buruan."

“Uhk, uhk.” Mendadak Keyzan terbatuk, dia belum bisa bergerak lantaran Tiko masih memegangi kedua lengannya. Lantas, dia melirih, “Plis, pu-pulangin a-aku.”

“Hah? Aku pasti salah denger.” Randy mendengkus, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Keyzan dan berbisik, “Ini pesta buat kamu, Key. Kamu harus nikmatin. Kamu harus hargain kita yang nyiapin semuanya, dong.”

Keyzan sungguh tidak peduli dengan omong kosong itu, dia hanya merasa sangat sesak sekarang; jantungnya berdegup jauh lebih kencang dari yang pernah ia tahu, kepalanya juga pening luar biasa, belum lagi lambungnya yang perih dalam sekejap, pun dengan cengkeraman-cengkeraman Tiko yang menguat pasti sudah membekaskan cetakan merah di tangannya. Keyzan kacau, dia bahkan tidak pernah menyangka hari seperti ini akan datang untuknya.

“Apa kita perlu sejauh ini?” Sebenarnya, Roby mulai sangsi. Tapi, saat mata Randy menumbuk matanya dengan tatapan tajam, dia pun akhirnya beranjak dari sisi kiri Keyzan. “Oke, aku beli dulu.”

Sepeninggal Roby, Tiko malah sibuk menduga-duga ke arah mana Randy melibatkan ia dan Roby selanjutnya. Meski begitu, dia tahu bahwa Randy melakukan ini semua dengan satu alasan kuat. Sahabatnya itu hanya sedang terluka parah. Ya, kehilangan seorang kakak merupakan derita yang paling tak bisa dibayangkan siapa pun. Terlebih Raska pergi dengan cara yang tidak seharusnya.

“HP-mu dari tadi bunyi.” Tiko menginterupsi, sengaja menyadarkan Randy dari tatapan membunuh yang bagai siap menguliti Keyzan itu. “Nggak diangkat?"

Randy mengalihkan diri, akhirnya dia bisa tidak berkonsentrasi pada Keyzan sebentar saja dan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja penuh botol minuman keras itu. 

Ternyata orang yang mati-matian Randy ingin temui meneleponnya.

“Halo?” Randy membalik tubuhnya, dia memunggungi Keyzan dan Tiko seraya menyelipkan sebelah tangannya ia di saku celana. “Whoa, santai aja. Kenapa kamu nuduh aku bawa-bawa adekmu?”

Tiko menguping, sedang Keyzan masih kepayahan mengatur napasnya, dia tidak bisa mencerna apa pun pembicaraan di sekitarnya sebab dia sudah kepalang pusing sekarang.

“Oh, ya? Kamu mau denger suaranya nggak? Oh, atau mau face time aja?”

Namun, di seberang sana seseorang spontan berteriak dan Keyzan tahu bahwa orang itu adalah kakaknya— Brazka.

***

“Anjing! Anjing!” Brazka harus memecah konsentrasi antara menyetir dan menghubungi nomor tak dikenal itu sambil mengumpat tanpa henti. Sudah tiga kali belum juga tersambung, dia bahkan tidak peduli lagi ada banyak klakson sekaligus orang-orang yang mengatai cara ngawurnya membawa mobil. “Angkat, Bajingan!”

Jelas saja Brazka panik, dia sudah tahu akar penculikan Keyzan malam ini pasti berpusat pada masa lalunya juga, termasuk terlibatnya orang yang menerornya belakangan ini. Tuhan bagai mendengar doanya saat akhirnya, di nada tunggu kelima, panggilannya tersambung.

This is Home! {Season 2}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang