PROLOG
NEW YORK.
Sialan.
Hanya sebuah kata itu yang terlintas berkali-kali dalam benak Jason selagi dia terkapar berdarah-darah di tepi seruas jalan sepi di kawasan Chinatown, New York.
Harga sebuah kebodohan memang sangat mahal. Ini semua salahnya karena mengabaikan peringatan Ernest. Padahal, teman satu apartemennya itu sudah menawarkan diri ikut menemaninya mengantar Mya pulang. Tololnya, Jason menolak tawaran yang sangat baik hati itu, beralasan kalau kawasan Chinatown tidak akan sama berbahayanya dengan East Harlem atau Midtown.
Bukan cuma itu, Jason bahkan sempat sesumbar, mengatakan kalau statusnya sebagai pemegang sabuk hitam taekwondo membuatnya bisa dengan mudah menumbangkan begundal manapun yang coba merampok atau menyerangnya. Dia lupa kalau New York tidak seperti Jakarta. Kota ini jauh lebih besar, jauh lebih sibuk dan penuh berandal jalanan yang jauh lebih berbahaya.
Belum genap sepuluh menit Jason berpisah dengan Mya di depan gedung sorority tempat pacarnya itu tinggal, langkahnya sudah dihadang beberapa pemuda berwajah oriental dengan leher, lengan dan dada berhias tato—kebanyakan tidak jauh-jauh dari gambar harimau atau naga. Streotipikal, pasaran dan jelas sekali dibuat di studio tato murahan.
Tak banyak basa-basi, mereka memaksa Jason menyerahkan dompet dan ponselnya. Jason mau-mau saja merelakan dompet, tapi dia ogah menyerahkan ponselnya. Ada terlalu banyak foto-foto, data dan kontak penting di sana. Mereka tidak terima. Jason lantas melawan.
Jason petarung yang tangguh, namun tetap tumbang karena kalah jumlah. Salah satu dari penyerangnya menikamnya dengan pisau di pinggang dan dada, meninggalkannya tergeletak bersimbah darah di pinggir jalan.
Barangkali, mereka sudah menghabisinya jika bukan karena suara letusan senjata api yang mendadak terdengar. Di tengah nyeri yang mendera dan dinginnya salju yang menggigit separuh wajahnya, Jason mendengar mereka saling mendesis dalam bahasa yang tidak dia pahami—yang kedengaran seperti bahasa Korea. Mungkin. Karena Jason tahu pasti itu bukan bahasa Mandarin atau bahasa Jepang.
Pistol kembali menyalak, membuat langkah para penyerang Jason berderap meninggalkan tempat itu.
Lalu, ada orang lain yang mendekat.
Langkahnya ringan, jauh dari kata berisik. Dia berhenti di samping Jason. Tangannya terulur ke pipi Jason yang bengkak kena hajar. Kendati sentuhannya sangat hati-hati, dalam kondisi setengah sadar, Jason tetap meringis kesakitan.
"Can you hear me?"
Suara seorang gadis.
Jason ingin menjawab, tapi mulutnya susah digerakkan. Matanya yang berat tetap terpejam sekalipun Jason berusaha amat keras membukanya, seakan-akan kelopak matanya sudah direkat lem agar terus mengatup.
Kalau gadis itu Mya, dia pasti sudah berteriak ketakutan dan mengguncangkan tubuh Jason dengan panik. Namun, gadis itu bukan Mya. Dia tidak seperti Mya. Hening sesaat, kemudian terdengar suara seorang laki-laki dari speaker ponsel yang diaktifkan.
"911. What's your emergency?"
Gadis itu menjelaskan situasinya dengan lancar, penuh ketenangan. Dia memberitahukan lokasi mereka secara lengkap. Mengikuti instruksi petugas nomor darurat yang menjawab teleponnya, dia memeriksa sekujur tubuh Jason.
"He got stabbed at least two times and is still bleeding. Wait—" Jason tidak tahu pasti apa yang sedang gadis itu lakukan, namun sejenak kemudian, dia merasakan sebuah buntalan dingin ditempelkan ke luka tusuk di pinggangnya—luka tusuknya yang paling banyak mengeluarkan darah. "I'm putting cold pressure on his stab wound. Please tell me that the ambulance is near."
KAMU SEDANG MEMBACA
Collateral Damage
Romance"Aku membunuh ayah kandungku. Begitu kata rumor yang tersebar hanya dua hari setelah kematiannya. Aku tidak terlalu memusingkannya. Tanpa bukti nyata, kasak-kusuk mereka cuma omong kosong belaka. Dan lagipula, sejak awal, dengan laki-laki keparat...