Di menit-menit awal perjalanan pulang mereka dari kantor polisi, keheningan merayapi mobil yang dikendarai Karina bersama Waverly.
Kesunyian itu mengejutkan Karina. Dia kira, adik perempuannya bakal menghujaninya dengan rentetan pertanyaan soal jaket Narendra yang kini berada di apartemennya. Semula, dia pun mengira kalau jaket itu milik Jason. Seandainya saja dia tahu kalau jaket itu punya Narendra, dia pasti tidak akan menyinggungnya di depan Waverly.
Sebenarnya, hubungan mereka berdua tidak selalu buruk. Pernah ada masa-masa di mana Waverly memperlakukannya selayaknya kebanyakan adik perempuan memperlakukan kakak perempuannya. Semasa mereka masih bocah hingga remaja, sebagian besar pertengkaran mereka hanya cekcok sepele yang sanggup didamaikan dengan menautkan kelingking atau memberikan sebungkus permen.
Kemudian, mereka mendewasa dan meniti jalan masing-masing. Karina dikirim kuliah ke kampus di negara yang berbeda dengan Waverly. Besarnya jarak yang membentang dan perbedaan zona waktu membuat mereka jarang berkomunikasi. Tanpa Karina sadari, tahu-tahu hubungan mereka yang sedekat nadi jadi sejauh matahari.
Karina cukup mengenal karakter Waverly untuk memahami bahwa adik perempuannya itu tak akan mampu membenci seseorang sedalam dia mencintainya.
Terutama kalau seseorang yang dimaksud adalah Narendra Narasena.
"Gue benar-benar nggak tahu kalau jaket yang gue pinjam malam itu jaket Narendra," kata Karina tanpa melepaskan pandangannya dari jalanan di depannya. "Gue bahkan nggak ingat apa-apa. Gue tahu kalau yang antar gue pulang itu Jason pun karena dia ninggalin kartu namanya di meja resepsionis lobi. Jadi—"
"Kalau gitu, mungkin lain kali bagusnya lo jangan minum sampai drunk ketika lo nongkrong di bar sendirian," Waverly mendengus. "Gue capek. Gue lagi nggak mau ngomongin apapun, termasuk soal Narendra."
"Cuma sekadar ngasih tahu, daripada lo salah paham—"
"Gue. Sepenuhnya. Paham."
Karina terlalu lelah untuk berdebat, jadi dia cuma mengangkat bahu dan kembali fokus menyetir.
Waverly tinggal di kompleks apartemen yang berbeda dengan kompleks apartemennya—walau boleh dibilang, kompleks apartemen mereka masih berada di satu kawasan yang sama.
Begitu Karina menghentikan mobilnya di depan lobi, Waverly cepat-cepat melepas sabuk pengaman. Gadis itu turun dan melangkah menuju pintu lobi tanpa mengatakan apa-apa. Karina membuang napas, sengaja menunggu hingga Waverly benar-benar masuk. Barulah setelahnnya, dia tancap gas dari sana, bergegas pulang ke apartemennya sendiri.
Karina baru saja tiba di apartemennya sewaktu ponselnya lagi-lagi berdering. Ada telepon masuk lainnya dari Tavella.
"Halo, Mi?"
"Kamu sudah jemput Waverly, Kay?"
"Udah."
"Gimana kelanjutannya? Orang yang dia tabrak baik-baik aja? Kerusakan mobilnya seberapa parah? Apa kita perlu nyiapin lawyer? Just in case orang yang Waverly tabrak nggak mau berdamai—"
"Aku jawab satu-satu ya, Mi," Karina menghela napas lelah. "Pertama, mobil Wave dan mobil orang yang dia tabrak dari belakang rusak. Nggak parah, tapi yang jelas mobil-mobil itu harus masuk bengkel. Jadi untuk sementara waktu, mobil Wave nggak akan bisa dipakai. Kedua, orang yang ditabrak baik-baik aja. Nggak tergores sama sekali. Dan nggak, kita nggak perlu nyiapin lawyer. Kecil kemungkinan orang yang Wave tabrak bakal menuntut atau minta uang lebih untuk ganti-rugi."
"Siapa sebenarnya orang yang ditabrak Waverly ini?" Tavella bertanya curiga.
"Narendra Narasena."
"Narendra—wait—Narendra yang itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Collateral Damage
Romance"Aku membunuh ayah kandungku. Begitu kata rumor yang tersebar hanya dua hari setelah kematiannya. Aku tidak terlalu memusingkannya. Tanpa bukti nyata, kasak-kusuk mereka cuma omong kosong belaka. Dan lagipula, sejak awal, dengan laki-laki keparat...