8. Pulang

18 4 0
                                    

Aku terbangun dan kaget saat mendapati dua laki-laki asing yang ada bersamaku di UKS sekolah. Ingin berteriak pun aku tak bisa. Kukira aku sudah mati, tapi aku ingat sebelum aku sempat melompat, ada seorang laki-laki yang menarikku lalu memelukku erat. Mataku bertemu dengan mata indah dari laki-laki yang lebih tinggi dan sesaat aku bisa merasakan sesuatu di dada, rasa familier, dia tersenyum, senyum itu juga familier, tetapi aku mengabaikan itu karena teringat sesuatu. Tidak mungkin karena kami baru bertemu.

Yang? Aku bermimpi aku melihat Yang. Dia datang dan menangis memohon agar aku tidak melompat. Syukurlah hanya mimpi.

Tiba-tiba aku menangis, bersedih karena itu hanya mimpi, dan membuat dua laki-laki asing itu berebut ingin menenangkanku. "Siapa kalian?" tanyaku sinis.

"Aku Wira, dan ini Jagat." Dia menyenggol satunya yang sejak tadi mematung menatapku, hanya bergerak tadi untuk memberiku senyum, si pemilik senyum teduh dan mata yang indah.

Jagat?

Pintu UKS dihempas dan masuk dua orang lagi, aku langsung menghambur ke salah satunya. Yang wanita. Dia membalas dekapanku lebih erat.

"Yin, maafkan aku karena datang terlambat lagi."

"Yang, ini kau?" Menghiraukan perkataannya tadi, aku takut aku hanya sedang mimpi. Aku sudah sering sekali memimpikan Yang dan rasanya selalu nyata.

Dia menangkupkan kedua tanganku di pipinya dan dia tahan di sana. "Ya, ini aku."

"Kau datang?"

"Tidak, Yin, aku pulang. Aku janji takkan pergi lagi."

Pulang? Aku langsung teringat dengan janji Mama yang ingin menjualku dan membuatku langsung berteriak histeris. "Aku tidak mau pulang!"

Yang berusaha membawaku kembali ke pelukannya. "Kau pulang bersamaku, ke rumahmu, rumah kita."

Aku sedikit tenang. "Rumah kita?"

"Iya, hanya kita. Tidak akan ada lagi yang menyakitimu," ucapnya. Aku bisa melihat mata Yang sangat bengkak. Dia memelukku erat dan kembali meminta maaf karena lagi-lagi datang terlambat.

"Yang, jangan kecewa padaku." Aku telah membuat Yang banyak bersedih, melihatku ingin bunuh diri seperti tadi pasti membuatnya semakin hancur. Aku memang tidak berguna.

"Aku tidak kecewa." Dia semakin mendekapku erat. "Terima kasih telah bertahan sejauh ini, kau sudah tidak sendiri."

"Aku tidak pernah sendiri. Kau selalu bersamaku."

Ketiga orang laki-laki tadi memilih keluar untuk meninggalkan kami. Aku dan Yang hanya saling peluk dalam diam dalam waktu yang cukup lama. Merasai detak jantung masing-masing.

"Kapan kau pulang?" Aku bisa merasa Yang tidak ingin menjawabku. "Baiklah, tidak usah di jawab."

"Maaf, sudah empat bulan," ucapnya. "Aku ingin memberimu kejutan."

"Aku suka kejutannya." Aku memeluknya lebih erat, membalas semua kerinduan.

"Ayo, kita pulang." Dia menggamit tanganku.

Aku diam di tempat, menahan kakiku untuk tidak bergerak.

"Tidak ke sana." Yang mengangguk, meyakinkan bahwa aku takkan pergi ke sana lagi.

"Rumah kita?"

"Iya, rumah kita. Hanya ada kita."

Aku memberanikan diri melangkah, aku tahu Yang tidak akan membawaku ke tempat yang berbahaya.

"Tapi." Aku berhenti.

"Utangnya sudah kulunasi." Dia mengelus-elus kepalaku, aku mampu merasakan banyak kasih sayang. "Kan aku bekerja untukmu, membayar utang yang sedikit begitu, kecil bagiku."

Love Is LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang