16. Keinginan

17 3 0
                                    

Aku lelah, punggungku mau patah, pekerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya, aku bahkan sampai harus meninggalkan makan siangku untuk menghindari lembur lagi malam ini. Sudah beberapa hari waktuku tak memiliki sisa untuk bisa kuberikan pada Yin. Gadis itu tidak keberatan, tetapi aku merasa gagal karena telah melanggar janjiku pada diriku sendiri---ingin selalu ada di samping Yin. 

Aku mengirimkan pesan. “Kau sedang apa, sudah makan siang?”

“Sudah, dan aku sedang makan lagi. Makan sore.”

“Baguslah.”

“Kau bagaimana, Yang? Sudah makan siang?”

Aku hanya bisa membaca pesan itu selama beberapa saat sampai pesan baru datang lagi. 

“Kau tidak makan siang.”

Aku hanya bisa mengirimkan emotikon nyengir, cukup kekanakan untuk seorang wanita dewasa hampir berusia 29 tahun yang sebelumnya sangat asing dengan emoji.

“Apa kau akan lembur lagi?”

“Tidak, aku pulang sore nanti.”

“Kalau begitu sampai jumpa di rumah.”

“Iya, sampai jumpa di rumah.” 

Yin tidak membalasku lagi, pasti sengaja karena tak ingin mengganggu kerjaku agar aku benar-benar bisa pulang tanpa lembur. Aku kembali fokus pada pekerjaan, berkas dan laptop seolah mengomeliku karena pikiranku sedang tidak di sini melainkan terus ke rumah. Benar, aku langsung semangat begitu kembali mendapatkan pesan dari rumah.

“Tidak usah bawa apa pun, langsung pulang saja. Aku memasak.”

Yinku benar-benar sudah bertumbuh, dia bisa mengolah berbagai jenis bahan dan menyulapnya menjadi masakan, dan yang pasti sangat enak. Meskipun gosong, hambar, atau keasinan, aku tidak akan mengubah penilaianku. Aku tidak sabar untuk sampai ke rumah, ke Yin. Terlebih dahulu aku harus menyelesaikan pekerjaan dan untuk itu aku harus fokus. Ini semua untuk Yin sekaligus melunasi utang-utangku pada Reese. 

Aku pulang pukul 6, sedikit lewat dari jam pulang seharusnya. Saat melangkahkan kaki ke luar gedung, hawa panas langsung menyerbu wajahku. Bandung sedang panas-panasnya hari ini, beruntung kantor kami memiliki AC. Tentu saja, perusahaan raksasa seperti Dakota Company mustahil tidak memiliki fasilitas yang mewah.

Aku mengendarai motor dengan sedikit mengebut, tidak sabar ingin bertemu Yin. Aku langsung memeluknya begitu dia membukakanku pintu. “Aku pulang," ucapku masih enggan melepas pelukan. Rasa lelahku langsung hilang, terlebih saat dia membalas pelukanku, membuatku merasa nyaman sampai mengantuk.

“Selamat datang di rumah," ucapnya sambil tersenyum. Senyum yang menunjukkan dia sekarang sudah memiliki sikap yang lebih dewasa daripada kakaknya.

Aku mengusap puncak kepalanya. “Sudah masaknya?”

Dia mengangguk. "Sudah sejam lalu."

Aku tersenyum, merasa bersalah karena pulang terlambat, Yin pasti buru-buru menyelesaikan masaknya tepat waktu untukku. Tak ada yang bisa kulakukan selain meminta maaf saat ini. “Aku mandi dulu, setelah itu kita sholat dan makan bersama.”

Yin kembali mengangguk, seperti biasa tak terlalu banyak bicara, dari sorot matanya aku bisa tahu kalau dia juga sangat senang kalau aku pulang. Azan Magrib berkumandang, aku langsung cepat-cepat menyelesaikan mandiku, berpakaian, mengeringkan rambutku sebisanya sebelum memakai mukena.

Yin sudah menunggu di depan dengan mukenanya, kami salat bersama dan seperti biasa dia akan selalu menyalami tanganku. Adikku sudah besar, kuharap begitu, aku yang seharusnya tetap menganggapnya sebagai adik tanpa ada bumbu perasaan selain itu. 

Love Is LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang