18. Kebersamaan

14 2 0
                                    

"Yang akan ke sini," ucapku pada Wira dan Jagat. Awalnya aku menelepon karena iseng saja, tak ada tujuan khusus. Maksudku, tak ada tujuan khusus selain melepas rindu. Dia yang bertanya apa kegiatan kami di rumah, kubilang saja kalau kami sedang berlomba-lomba untuk tidak melakukan apa-apa, dan dia tertawa. Tawa yang membuat jantungku berdebar lebih kencang daripada saat aku memutuskan untuk benar-benar meneleponnya tadi.

Aku tidak tahu kalau bakat melucu ternyata tidak perlu diasah terlebih dahulu, dia akan muncul sendirinya saat melihat kekasih yang selalu murung, naluri untuk membuat kekasih bahagia dan tertawa. Itulah faktornya.

Ada bunyi motor di depan dan mulai memasuki pagar. Yang sampai. Sampai ke rumahnya. Kami bertiga menyambutnya masuk.

"Aku ingin ikut kalian untuk tidak melakukan apa-apa," ucapnya dan membuat kedua adiknya tertawa sambil berceletuk.

"Dari mana kau dapatkan kata-kata konyol itu, Kak?" hina Wira sambil tertawa-tawa tanpa tahu orang yang dia katai ada di depannya.

"Kak Yang pasti mendapatkannya dari A Dain." Ucapan Jagat sontak membuat Wira terdiam, dan bergantian aku dan Yang yang tertawa karenanya. Sepertinya Jagat bisa membaca ekspresiku, dia memang selalu bisa membacaku dengan baik.

Aku bertanya pada Yang kenapa dia tidak membawa Yin, ternyata gadis itu yang menolak diajak. Aku tidak tahu apa alasannya, kuharap bukan karena dia membenciku, Aa-nya sendiri.

Kami memutuskan untuk masak-masak, kebetulan kemarin kami memang sudah memasok bahan masakan untuk seminggu ke depan. Aku ingin meminta Yang untuk duduk santai saja dan menonton kami dengan alasan dia adalah tamu. Namun, ini adalah rumahnya, jadi aku bingung.

Bosan dengan makanan berat, kami memutuskan untuk membuat piza ala-ala, Jagat bersin saat dia menguleni tepung dan membuat bubuk putih itu berhamburan di udara. Tawa Wira menggelegar saat melihat wajah saudaranya yang penuh bedak palsu.

"Cemong!" ucapnya sambil berusaha membersihkan itu dengan tangannya yang juga sama-sama penuh tepung, bukannya bersih, Wira berhasil membuat wajah Jagat semakin berantakan. "Jagat saja yang kita panggang, A."

"Enak aja." Jagat berjalan ke wastafel untuk mencuci wajah dan tangannya.

Setelah keributan yang sebenarnya lebih didominasi oleh Wira itu mereda, aku dan Yang lanjut membuat saus tomat yang sempat tertunda.

"A Dain, kita gak punya sosis sama keju mozzarella," ucap Jagat sambil mengelap wajahnya yang sudah kembali rapi.

"Aku aja, A, yang beli." Wira tunjuk tangan dengan semangat seperti anak TK, dia memang memiliki pasokan energi yang banyak. Entah dia dapatkan dari mana, sepertinya dia memiliki panel surya sebagai pelapis tubuhnya.

"Awas bersin lagi," ujar Yang pada Jagat yang kembali menguleni tepung.

Aku juga masih bisa mendengar Jagat menjawab, "Iya, Kak," saat aku dan Wira sudah melangkah menjauh dari mereka untuk mengambil uang di dompet.

"Beli apa aja, A?" tanya Wira padaku, semangat seperti anak kecil yang berharap uangnya akan memiliki sisa yang bisa dia korupsikan.

"Coba tanya Jagat." Aku tidak terlalu mengerti, karena urusan dapur memang lebih dikuasai oleh dua orang itu, aku biasanya hanya tinggal makan, makanya aku lancar menyodorkan uangku pada mereka.

"Gat, beli apa aja, Gat?" teriaknya sambil memanjangkan lehernya ke dapur seperti sedang mencontek saat ujian.

Astagfirulah. Tapi Wiralah peramai rumah ini.

"Itu aja, Wir, atau kalau nemu toping tambahan yang bagus, ambil aja. Ingat untuk gak ngabisin uang A Dain," jawab Jagat panjang lebar setengah berteriak.

"Keju cheddar ada?" tanyanya lagi, dengan volume lebih besar dari sebelumnya. Untung saja rumah kami jauh dari tetangga.

Aku langsung meniup-niup rongga tangan yang kukepalkan dan meletakkannya ke telingaku, melakukan itu berulang-ulang.

"Ada."

"Oke, A, berangkat dulu," ucapnya ingin bersalaman. Dia selalu berhasil membuatku merasa menjadi seorang bapak-bapak.

Aku kembali ke dapur, saus yang dibuat Yang hampir jadi. Jagat juga sudah mencicipinya setelah dia menutupi adonan tadi dengan kain, tinggal menunggu hingga mengembang. Saat aku datang tadi, aku melihat dua kakak beradik itu terlihat sangat kaku, apa karena mereka sama-sama introvert? Tapi mereka bahkan bukan dua orang yang baru saling mengenal.

"Yang, seperti apa pernikahan impianmu?" tanyaku. Sebenarnya, aku sudah bertekad untuk tidak menanyakan hal ini dalam waktu dekat, tetapi aku hanya ingin memastikan kalau aku siap. Atau aku sedang mengukur sebenarnya sudah seberapa jauh kesiapanku.

Pertanyaanku itu langsung membuat Jagat pergi ke depan, mungkin ingin memberi kami ruang untuk berbicara.

"Aku tidak berniat menikah, Dain," jawabnya setelah kulihat dari matanya, dia berpikir dan menimbang agak lama.

"Apa karena Yin? Maksudku ... apa karena kau ingin mengurus Yin sampai dia menikah?" Aku tahu Yang memiliki ketertarikan romantis terhadap Yin, dan kalau penilaianku tidak meleset, itu rasa yang tidak bertepuk sebelah tangan, entah Yang menyadarinya juga atau tidak.

"Ya, karena Yin." Dia tidak membahas lebih lanjut, tetapi aku sudah memahami semuanya.

"Setelah itu kau mau menikah?" Aku tidak bisa membayangkan dia yang kesepian tanpa siapa pun dan menangis, meringkuk, kedinginan seorang diri.

"Dain, kau tahu seksualitasku."

"Aku tahu, Yang. Aku hanya ingin menjagamu seperti kita kecil dulu, dan susah kalau kita sudah dewasa." Di panti, ada pohon yang berisikan garis nasab dari sepersusuan, dulu aku sedih karena aku dan Yang tidak sepohon, setelah dewasa dan memahami, aku sangat bersyukur.

"Selisih usia kita dan Yin 10 tahun, kita sudah cukup tua saat Yin menikah," ucapnya.

Benar, aku pun tidak melihat tanda-tanda Yin akan menikah muda, atau mungkin seperti kakaknya, Yin juga tidak memiliki niat untuk menikah.

"Aku akan menunggu," ucapku mantap. Aku tidak akan bosan menunggumu, Yang.

"Baiklah, kita lihat apa empatimu akan bertahan selama itu."

Aku hanya bisa terkekeh mendengarnya, tidak ingin membahas lebih lanjut karena takut pernyataanku selanjutnya benar-benar akan merusak keharmonisan persahabatan kami berdua.

"Kenapa kau di sini?" Suara Wira yang baru datang sampai ke dapur. Dia menenteng plastik belanjaan di tangan kiri dan menenteng Jagat di tangan kanannya.

Kegiatan memasak kami berlanjut, suasana sudah kembali ramai karena peramainya yang kembali. Aku senang Yang sedikit pun tidak merasa canggung denganku karena pembahasan kami barusan.

Ini salah satu kegiatan memasak terbaik yang takkan aku lupakan, pizanya sudah jadi, kami menyantapnya bersama.

"Kenapa, Kak?" tanya Jagat pada kakaknya yang murung dan urung menggigit potongan piza pertamanya.

"Seharusnya Yin ada di sini," ucapnya sendu. "Seharusnya aku tidak meninggalkannya sendiri."

"Makanlah satu dan bawa pulang semuanya," ucapku dan tidak dibantah sedikit pun oleh dua orang yang tadi menjadi koki. "Sampaikan juga salam kami pada Yin."

Tak apa, untuk sekarang dia pulang ke sana, tanggung jawabnya. Suatu saat semoga dia akan pulang padaku, dengan dia yang telah sepenuhnya menjadi tanggung jawabku.

***

Ditulis : 8 Agustus 2024
Diterbitkan : 8 Agustus 2024

Semua platform, klik link di bio.

Love Is LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang