25. Kedinginan

8 1 0
                                    

Aku membuka gorden kantor dan membiarkan ruanganku diterpa matahari pagi, aku tidur di sini lagi, sangat tidak nyaman, tetapi kutahan. Aku memeriksa ponselku, lagi dan lagi hanya ingin menemukan seseorang menghubungiku. Pesan, satu saja yang bertanya apa aku akan pulang, atau apa aku sudah makan, atau pesan yang memintaku pulang. Tidak ada. Kosong. Hampa. Ini keasingan yang sangat asing. Aku membenci keasingan ini.

Hubunganku dan Yin semakin dingin, aku ingin menyapanya duluan untuk mengembalikan kehangatan di antara kami, ingin kembali menyalakan api kecil itu, terang temaram lilin, sudah cukup untuk aku dan Yin, sedari dulu kami tidak ingin lebih, ternyata aku terlalu pengecut untuk mengembalikan segala kesederhanaan kami.

Puncaknya adalah saat aku pulang tengah malam dan memeriksa tudung saji, ada banyak sekali makanan yang telah dingin di sana. Di situlah aku memasukkan semuanya ke dalam mulut dan lambungku sambil mengulang-ulang mengucapkan dalam hati dengan air mata yang terus mengalir bercucuran sampai ikut tertelan. "Yin, maafkan aku."

Aku sadar semakin menyakitinya dan aku semakin tidak berani pulang. Aku tidak berani melihatnya, aku memang sangat pengecut, akhirnya hari ini aku memutuskan pulang ke rumah Dain, rumahku juga katanya, karena aku sudah tidak tahan lagi, dan juga sudah muak dengan ruangan kantor yang terus kutinggali. Aku ingin melihat mereka bertiga, setidaknya aku tahu aku memiliki keluarga.

Aku beristirahat sebentar, sebenarnya aku hampir tertidur saat Wira memeriksaku dan mengatakan makanan sudah siap, jadi aku keluar, ingin makan bersama, hal yang selama beberapa hari belakangan telah hilang dariku. Kebersamaan, makan bersama, sebenarnya aku ingin salat bersama juga, tetapi terhalang karena aku sedang haid.

Setelah makan dan mengganti pembalutku, aku tidur sepanjang hari, hal mewah yang sudah tidak bisa kuraih selama berhari-hari, tidur di kamar dengan aroma khas Dain, membuatku sangat nyaman, sakit di kepalaku juga perlahan berkurang.

Saat aku bangun, aku terkejut sudah hampir pukul tujuh, aku agak pusing karena kebanyakan tidur, di satu sisi aku senang bisa mengistirahatkan tubuh. Kalau seperti ini terus, sepertinya aku akan mati muda. Aku keluar dan satu kata yang berhasil lulus dari mulutku adalah. "Dain."

Dain berdiri dan agak panik, dia basa-basi bertanya apa aku ingin pulang, aku tahu dia pasti ingin mengantarku, mengingat kondisiku yang tidak fit sekarang.

Aku memang sangat ingin pulang, tetapi saat Dain tadi bertanya, aku refleks mengatakan ingin ke kantor. Di situ aku sadar masih takut bertemu Yin, hatiku takut bertemu dengan cintanya, alasan kenapa dia masih berdetak sampai saat ini di saat sudah tak terhitung lagi berapa kali aku memikirkan ingin mengakhiri diri.

Lalu Dain membujukku untuk menginap, kupikir tak ada salahnya menginap di sini, satu hari, di rumahku yang lain.

Aku mengatakan ingin keluar, jalan-jalan selayaknya keluarga lengkap, tetapi tidak ada kata lengkap tanpa Yin. Aku ingin keluar, sebenarnya tidak, aku ingin pulang, makanya aku hanya berputar-putar mengarahkan motorku menyusuri kota Bandung karena tidak mungkin mengarahkanya ke rumah, sampai hujan turun dengan deras, aku menepi di jembatan, memikirkan Yin, kuharap dia tidak ketakutan di rumah kami seorang diri.

Aku tidak sadar kalau Dain tidak bersama kami, mungkin dia tertinggal di belakang, sampai Jagat yang memberitahuku tanpa aku harus bertanya. "A Dain isi bensin, Kak." Lalu aku hanya menyahutinya dengan mengangguk, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun dari tenggorokanku.

Saat Dain datang, pertahananku runtuh juga, aku tidak tahan lagi, jadi aku menceritakan semuanya pada mereka, melawan tenggorokan yang tercekat, melawan senggukan karena sedu sedan, melawan sesak di dada, aku bercerita sambil setengah berteriak seperti orang gila, karena kalau tidak seperti itu, aku tidak akan mampu mengatakan apa pun, pundakku terlalu berat, untungnya aku memiliki mereka di sini. Dari sekian banyak orang yang bisa kujatuhkan hatiku padanya di muka bumi ini, kenapa harus sesama perempuan? Harta bisa kucari, jarak bisa kudekati, tapi gender? Tak bisa kuganti. "Aku mencintainya, Dain. Aku mencintainya."

Saat Dain meminta Wira dan Jagat untuk memelukku, Wira yang sejak tadi mematung langsung bergerak, aku membalas pelukannya, membuatku hangat di tengah dingin dan membuatku sedikit tenang. Aku tahu Jagat lebih memilih memeluk Dain, karena selain tahu Dain juga membutuhkan dukungan, aku juga mengerti apa yang Jagat alami.

Jagat menangis mengagetkanku dan Wira yang belum sempat mengatakan kata-kata penenang apa pun untukku. Jagat yang tenang itu menangis, dengan tangisan yang lebih menyedihkan daripada tangisanku, hingga kesedihan itu menular padaku, sedihku menjadi berlipat ganda. Wira, aku tahu dia sedang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak runtuh juga, karena aku memeluknya, aku bisa menangkap tadi bagaimana dia tersedak sekali.

Dia melepas pelukannya dariku untuk mengangkat telepon dan satu nama yang dia ucapkan langsung membuat tangisku berhenti, membuatku memutuskan ingin langsung pulang dengan berlari. Kuharap Yin tidak mendengar apa-apa sebelumnya. Meski aku tidak yakin, aku juga tidak bisa menyalahkan Wira yang langsung mengangkat telepon itu sebelum dia memberitahuku itu Yin.

Aku tidak mendengar apa yang Yin ucapkan, tetapi dari Wira yang menatap padaku, aku langsung mengangguk.

"Yin, tunggu, ya, kami akan pulang," ucapnya mengerti isyaratku.

Jagat masih dengan sisa-sisa tangisannya berusaha untuk berhenti, Dain terlihat sangat kebingungan di sana, kami bertiga sangat kacau kecuali Wira. Setelah masing-masing menenangkan diri, motor kami berempat kembali mendekat ke arah rumah.

Yin sudah menungguku di depan rumah itu, kedinginan pastinya, aku tahu, kulihat dia menggigil, ingin sekali aku melompat dari motor saat mesinnya masih menyala sempurna untuk memeluknya. Saat kami sampai, dia langsung menghampiriku yang masih berada di tengah hujan dan memelukku lemah, selemah dia menghampiriku. Aku membalasnya, sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menangis lagi. "Kenapa kau ke sini?" tanyaku.

"Karena aku tahu kau pulang ke sini," ucapnya lalu melihat ke laki-laki yang tadi menangis lebih menyedihkan dariku, yang mematung melihat kami.

"Yin."

"A Jagat."

Bagaimana kedua orang itu memanggil satu sama lain, aku merasa ada yang berbeda. Yin sampai melepaskan pelukannya dariku dan kedua orang bertatap-tatapan lama, seolah berusaha saling mengenali dan kembali menemukan satu sama lain.

"Apa kabar, Yin?"

"Aku baik, A."

"Syukurlah." Jagat tersenyum dan matanya juga.

Percakapan itu terlalu singkat. Namun, terasa begitu bermakna bagiku yang mendengarnya sampai Yin mengajakku pulang, aku baru tersadar kembali. Kami berpamitan kepada mereka bertiga. Tidak mungkin kami menginap di sini karena aku dan Yin tidak memiliki pakaian ganti.

"Kami pulang, A Dain, A Wira," ucap Yin lalu menatap Jagat lama sebelum mengucapkan, "Aku pulang, A."

Kurasa, Yin mulai mengenali Jagat.

Jagat mengangguk singkat sambil memejamkan matanya lalu berkata dengan teduh. "Hati-hati di jalan, ya, Yin." Sesaat dia lupa kalau bukan Yin yang akan berkendara. "Hati-hati di jalan, Kak Yang."

Aku terkekeh, lagi-lagi Jagat melupakan Kak Yangnya saat sudah bersama Yinnya.

***

Ditulis : 18 September 2024
Diterbitkan : 18 September 2024

Aku hanya mempublikasikan karyaku secara lengkap di Wattpad, KaryaKarsa, Medium, dan Patreon dengan nama pengguna sama, yessicaeffendi. Untuk semua platform, bisa klik link di bio.

Salam hangat,
Yessica Effendi

Love Is LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang