13. Kehangatan

27 3 0
                                    

Yin baru pulang tepat saat azan Magrib berkumandang, aku ingin sekali memarahinya habis-habisan karena telah membuatku khawatir, urung karena dia terlihat sangat lelah. Katanya ban mobil temannya pecah sehingga mereka harus menunggu bala bantuan tiba, ponselnya habis baterai makanya aku tidak bisa menghubunginya. Tak apa, yang penting Yinku pulang dengan selamat. "Cepat bersihkan diri dan berganti pakaian." Itu yang kuucapkan tadi padanya dan sampai sekarang dia masih belum keluar dari kamar. Sepertinya masih mandi atau mungkin sedang salat.

"Yang, Yin sudah pulang?" Dain mengirimkanku pesan baru saja.

Aku melihat jam, hampir pukul tujuh. "Ya," balasku singkat.

"Kalau begitu aku jadi ke sana," ujarnya. "Aku di jalan, temanku membatalkan agenda kami sepihak."

"Kutunggu di rumah, hati-hati, jangan mengebut."

"Iya, Yang," balasnya.

Aku tidak membalas lagi dan membiarkan Dain berperjalanan tanpa gangguan, Yin keluar dari kamar dengan rambut basah. Dia benar-benar mandi, maklum saja, rasa lengket karena keringat pasti membuatnya tidak nyaman. Aku memintanya duduk di dekatku dan kami sedikit berbincang.

"Itu dadakan dan kukira pesan yang kukirimkan padamu sudah kukirim," ujarnya lesu. "Mungkin belum karena aku buru-buru."

"Lain kali pergi dengan baterai penuh." Aku mencubit pipinya pelan. "Tak apa, nanti kubelikan power bank, jadi kejadian ini takkan terulang. Kau satu-satunya yang kumiliki, aku sangat khawatir." Aku sampai tidak sempat memasak karena begitu cemasnya menunggu dia pulang.

Dia hanya bisa meminta maaf, raut wajahnya yang lesu dan penuh rasa bersalah membuatku benar-benar kasihan. Aku mengacak-acak rambut dan mengecup puncak kepalanya. "Tidak apa-apa, aku masak dulu, nanti kalau ada tamu, tolong bukakan pintu," ujarku dan berlalu ke dapur.

"Kita akan kedatangan siapa?"

"A Dain."

"Laki-laki?"

"Hm, ya," jawabku sambil memberikan sedikit penjelasan kalau Dain hanya mampir.

Yin datang ke dapur lalu mengambil alih beberapa pekerjaanku. "Kubantu," ujarnya. "Kau takkan sanggup menyelesaikan ini sendiri dalam waktu cepat."

Astaga, sejak kapan gadis ini menjadi begitu dewasa? Aku benar-benar telah banyak melewatkan tumbuh kembang Yin. Aku meninggalkan bumbu yang masih digiling dan mengambil ayam yang ada di kulkas, karena Dain akan ikut makan bersama kami, aku akan memasak dengan porsi yang sedikit lebih banyak. Aku masih ingat, Dain tidak terlalu suka makanan yang berkuah, kecuali mi tentu saja, makanya aku akan memasak pedas manis ayam ini. Kuharap selera Dain belum berubah.

Yin membantuku merebus lalapan. Ada jantung pisang, dan sepertinya itu rezeki Dain. Aku memang membelinya karena teringat masa kecil kami.

Kami memasak terburu-buru, aku menumis bumbu dan setiap detik harus menoleh kepada jam dinding, hampir Isya dan syukurnya ini sedikit lagi selesai. Untung ada Yin yang tidak membiarkanku keteteran sendiri, bahkan dia yang menanak nasi di magic com, aku benar-benar lupa akan hal itu tadi.

"Nasinya sudah masak, Yin?" tanyaku.

"Belum, Yang. Baru mendidih," jawabnya.

Kami menata semua masakan di atas meja, lauk, sayur, dan lalapan, semua lengkap. Aku tersenyum, melihat meja yang sangat penuh membuatku membayangkan kami makan bersama sebagai keluarga utuh. Terakhir kali hanya makan mi bersama Dain dan kedua adikku di rumah mereka, aku saja sudah merasa hangat, apalagi sekarang.

Ada yang mengetuk pintu diikuti dengan suara berat seorang pria yang mengucapkan salam, serentak aku dan Yin menjawab salam itu dan menghampiri pintu bersama, membukanya dan menemukan Dain yang tersenyum teduh sambil membawa kantung plastik di tangan. Aku tidak perlu kaget karena Dain datang dengan tidak membawa tangan kosong. Aku mempersilakannya masuk sambil menenteng pemberiannya.

"Kita harus menunggu sebentar lagi, nasinya belum masak," ujarku memberitahu Dain yang terpaku melihat banyaknya hidangan di meja makan.

"Ah, iya? Baguslah," ucapnya. "Maksudku, kalian sudah sholat? Aku belum."

"Kami juga belum, baru selesai masak," jawabku. Yin tiba-tiba menjadi pendiam, maklum, ini tamu pertama kami dan Yin masih belum mengenal Dain.

Aku mengajak Dain melaksanakan salat di sini saja berjamaah, toh ada dua orang semahram di sini, jadi tidak khalwat, Dain pun menyetujui. Setelah berwudu kami membentangkan tiga sajadah di ruang tengah, aku dan Yin di belakangnya, seorang pria yang bagiku sangat sempurna fisik dan akhlaknya.

Selama beberapa menit tak ada lagi suara selain suara merdu Dain yang membacakan surah maupun takbir. Setelah salam kedua, tentu saja kami langsung khusyuk pada doa masing-masing, tidak ada adegan salam-salaman selayaknya kami keluarga yang utuh, hanya Yin yang menyalimi tanganku. Aku meminta mukena yang telah Yin lipat kemudian meletakkannya di sofa di atas milikku. Kami memindahkan semua hidangan ke lantai, karena kursi makan hanya dua, jadi kami akan makan di bawah saja. Lebih nikmat.

Aku bertanya pada Dain dia ingin lauk apa, tetapi dia tampak bingung menjawab. "Anggap rumah sendiri," ujarku.

Dia menerima piring yang kuberikan dan mengambil nasi, sangat sedikit sampai aku heran. Mata kami bertemu, seolah tahu dengan keherananku, Dain mengisi piringnya lagi dengan porsi sedang, kemudian mengambil lauk serta lalapan, semua dia ambil dalam porsi yang sedikit-sedikit. "Seharusnya kalian tidak perlu repot masak banyak," ujarnya sebelum menyuap suapan pertama.

"Kebetulan aku dan Yin belum makan, apa salahnya makan bersama?"

Dia tersenyum, kami makan langsung dengan tangan.

"Apa Yin memang pendiam?" tanyanya.

"Kalian harus berkenalan," ujarku.

Mereka berdua berkenalan dengan cara yang amat kaku, hanya Dain yang tahu dia memiliki hubungan apa dengan Yin. Kuharap suatu saat bisa memberi tahu Yin tentang kebenaran ini, fakta bahwa secara nasab Dainlah kakaknya bukan aku.

"Kudengar A Dain baru melaksanakan kelulusan?" Yin bicara, aku tidak tahu dia tahu dari mana karena bukan aku yang memberitahukan hal itu. Aku bahkan hampir lupa saking sibuknya, untung saja aku ingat dan buru-buru datang.

"Iya, apa Kak Yang yang menceritakannya?' tanya Dain.

Yin tersenyum. "Tadi aku lewat kampus itu dan ada rame-rame."

Suasana di antara kedua adik kakak itu mulai mencair, mereka berdua yang lebih banyak mengobrol sedangkan aku hanya menimpali sesekali, dan lebih banyak ikut terkekeh atau tertawa saja. Sudah 18 tahun dan baru kali ini Yin bertemu kakak laki-lakinya, aku tidak ingin mengganggu momen mereka.

Semua hidangan hampir habis, Dain bahkan tidak menoiak dan langsung menyodorkan piringnya saat aku bertanya apakah dia ingin nambah? Syukurlah, dia menyukai masakan kami berdua. Sekarang kami sedang memakan hidangan yang tadi Dain bawa sampai tak terasa sudah pukul sepuluh lewat, mau tak mau aku harus rela kehilangan momen hangat ini. Dengan berat hati aku harus melepaskan Dain untuk pulang.

Setelah mataku kehilangan punggung Dain, hatiku kembali merasa dingin.

***

Ditulis : 15 Juni 2024
Diterbitkan : 15 Juni 2024

Semua platform, klik link di bio.

Love Is LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang