Hari pertunjukan drama untuk merayakan ulang tahun sekolah diundur menjadi Rabu. Keesokan hari setelah percakapan singkat, tetapi membekas, bersama ayahnya—Rika kembali masuk ke sekolah. Namun, ia tidak menemukan Keegan.
Bukan hanya di kelas dan ruang latihan drama, laki-laki berbusana perempuan itu tidak dapat ditemukan di seluruh penjuru sekolah. Rika bahkan sampai mencari nomor telepon rumah Keegan dan menanyakan apakah temannya itu baik-baik saja kepada Tante Janice.
"Sejak Sabtu kemarin, sih ... Keegan bilang mau menginap di rumah teman di The Showstoppers," sahut Janice di seberang begitu Rika menanyakan keberadaan putra semata wayangnya. Rosalie, satu-satunya orang yang melintas di benak Rika saat wanita yang ia telepon menyebut nama komunitas teater. Akan tetapi, jawaban Janice bahwa Keegan menginap di rumah teman cowok meruntuhkan harapan gadis itu untuk sesegera mungkin meminta maaf.
Saat waktu menunjukkan pukul dua tepat, Rika melangkah gontai menjauhi area sekolah menuju lapangan parkir. Victoria sudah berdiri bersandar di badan mobil tanpa mengalihkan perhatian dari layar telepon genggam di tangan kirinya. "Lo lagi berantem sama Keegan?" selidik perempuan yang tidak ada kelas hari itu di kampusnya.
Pertanyaan Victoria membuat Rika berhenti berjalan memutari bagian depan mobil demi menoleh ke kakaknya yang sudah menatapnya lebih dulu. Ekspresi Victoria serius dan Rika mengurungkan diri menjawab ketus, melainkan mengangguk tegas. Sedetik kemudian siswi SMA dengan rambut lurus tergerai kusut terlonjak kaget karena Victoria membuka kasar pintu pengemudi, lalu alih-alih memberitahu ke mana mereka akan pergi—Victoria justru menyuruh Rika memasang seatbelt karena ia akan semakin lebih cepat melajukan kendaraan roda empat itu.
Raut wajah Rika berkerut keheranan karena Victoria membawa mobil memasuki Perumahan Airlangga. Satu-satunya kenalan yang tinggal di jajaran tempat tinggal nan asri hanya Dhennu. Teman satu sanggar tari dulu.
"Berapa kali Tante Violet antar dan jemput lo les nari?" Tiba-tiba Victoria melayangkan pertanyaan random. Rika membalas singkat kalau waktu itu bibi mereka menggantikan keseharian antar-jemput dirinya kurang lebih sebulan karena Firdha menemani Victoria mencari kampus yang cocok.
Ketika mobil sudah berhenti menderu tepat di depan pagar cokelat dirambati dedaunan hedera, Victoria memanggil nomor seseorang. Berselang sepuluh menit, sosok Dhennu berambut buzz cut muncul dari balik gapura tembok bata. Rika masih tercengang melihat kedekatan kakak dan teman sanggarnya. Kalau saja Dhennu tidak membuka pintu tempat Rika duduk dan berkata, "Masih ingat halaman belakang, kan?"
"Waktu kita latihan Tari Baris?" Rika balik bertanya, tetapi yang ia dapat dari Dhennu adalah perintah dengan nada suara terburu-buru.
"Teman baru, well sekaligus model andalan akun Instagram fotografi gue, dia lagi baca buku dan gue–" Dhennu melirik Victoria sepintas, "enggak sengaja lihat ada wajah Tante Violet, di foto yang jatuh dari bukunya."
Tanpa basa-basi, Rika melompat turun dari kursi dan kedua kakinya mengambil langkah seribu sebelum orang yang membawa foto Tante Violet berpindah ke ruangan lain. Gadis itu tidak perlu mendengar nama orang itu dari mulut Dhennu, kini ia berdiri di belakang punggung seorang laki-laki yang mengenakan jersey tuan rumah dan jins abu-abu selutut.
Kian dekat kedua langkah kaki Rika mengayun mendekat. Dari arah samping, ia melihat tulang pipi Keegan basah. Tetes matanya dibiarkan luruh jatuh dari dagu remaja itu yang semakin tirus. Di atas kedua tangan Keegan terbuka sebuah buku, yang ukurannya sama seperti milik Tante Violet, tetapi dengan warna berbeda. Dusty pink.
Sepasang netra cokelat Rika tidak membaca jelas tulisan tegak bersambung di kertas, melainkan secarik foto di atas meja kaca. Kertas yang menangkap potret empat orang berseragam putih abu-abu itu sudah berwarna kekuningan. Namun, senyum mereka terasa abadi karena Rika tidak pernah melihat tawa lepas sebahagia itu dari mendiang Violet.
Saking terpakunya remaja gadis itu, ia tidak menyangka mendadak Keegan bangkit dan langsung bertemu tatap dengannya ketika berbalik badan. Jemari laki-laki itu lemas melihat kehadiran seseorang yang ia hindari sejak pertemuan terakhir di butik. Seseorang yang menebak kenyataan dengan tepat ... tanpa harus membuka buku harian itu, seperti Keegan.
Rika meremas kuat kedua sisi roknya. Kantung mata Keegan lebih gelap dibandingkan hari-hari sebelumnya. Obsidian cerah Keegan pun meredup seiring air mata yang kembali meleleh.
Setelah sepersekian menit hanyut dalam isak pelan dan keheningan tengah hari menuju petang, Rika akhirnya membuka suara lebih dulu. "Apa yang ... lo baca ...?"
Keegan mati-matian menghalau suara sesenggukannya dengan menelan saliva berkali-kali. Suara laki-laki yang menyingkirkan helai-helai rambutnya dari leher itu tetap terdengar parau saat berujar. "Tante Violet lo ... emang korban dari bibi gue ... y-yang enggak bisa ambil keputusan."
Entah dorongan dari mana. Gadis yang masih memakai seragam SMA itu merengkuh sang calon aktor tepat sebelum tangisnya akan pecah lagi. "Aneh," seloroh Rika tergugu di tengah suara sengau. "Di diary yang gue baca ... tante lo, sangat terluka karena—Tante Violet ingkar janji."
Tubuh jangkung yang Rika peluk balas merengkuhnya lebih erat. Masa lalu ironis yang mengguncang pikiran dan perasaan sepasang remaja labil itu perlahan mulai mereda.
Tautan kedua lengan mereka sedikit merenggang saat Keegan bertanya dengan nada setengah berbisik, "Janji yang lo maksud ... merawat Owena bersama waktu–"
"--Waktu suami tante lo kabur, karena takut," sambung Rika. Perempuan itu menarik napas dalam dan lanjut berkata, "Tante Vio sengaja ngaku perasaannya yang sebenarnya ke Tante Ony. Sepertinya ... karena bibi gue ngasih lihat tiga tiket ke Paris, mendiang paman lo baru tergerak buat ... nikahin Tante Ony."
Keegan membuka lagi buku harian yang sejak pagi ia baca berulang-ulang. Lebih tepatnya ia membuka halaman paling belakang. Foto lain, hanya ada Violet, Lionny, dan Owena, yang terlihat masih di bawah tiga tahun, berdiri pada spot berbeda di bawah sebuah tiang gelantung. Di ujung kanan tepi potret itu tertulis, maybe in another life, Vio.
Rika mengangkat pandangan dari halaman itu dan menatap lurus ke kedua manik mata Keegan. "Maaf ... gue minta maaf karena ucapan di butik, dan ... gue masih mau gambar dan jahit baju." Keegan hanya mengerjapkan mata menanti perkataan selanjutnya dari kedua belah bibir Rika. "Gue enggak tahu apakah gue beneran bisa jadi desainer ... tapi setidaknya, gue bakal terus berusaha, sampai gagal berkali-kali pun gue enggak berhenti mencoba!"
Bibir tipis Keegan mengulum senyum manis mendengar ucapan optimis Rika. "Kenapa lo bilang ini ke gue, Rik?"
Kedua tangan perempuan bertubuh lebih pendek itu terangkat dan menangkup kedua pipi Keegan. "Gue mau lo jadi saksi buat setiap langkah yang gue ambil, boleh?"
Keegan menghambur memeluk Rika lagi. Tidak peduli jika teman sekelasnya itu mendengar degup jantungnya yang berdentum-dentum keras karena ia menenggelamkan wajah ke ceruk leher Rika. Keegan ingin selalu menjadi orang pertama yang mendengar kabar baik maupun buruk dari gadis di dalam dekapannya sekarang. Walaupun keduanya masih gagal memenuhi ekspektasi orang tua, mereka akan mencari cara supaya orang lain mengerti bagaimana rasanya menjadi pencipta dari tujuan hidup sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum Realitas - A Novelette [Sudah Terbit]
أدب المراهقينRika terpesona dengan dunia fesyen sejak memasuki butik milik Tante Violet, Lacy's. Namun, butik selalu sepi pengunjung bahkan sampai Tante Violet wafat. Rika yang sudah beranjak menjadi siswi SMA bertekad akan membuka butik itu lagi. Rika semakin...