Chapter 17 - You're My Achilles' Heel

3 3 0
                                    

Doa Rika semasa tahun pertama dan kedua SMA meleset. Ia bersujud setiap malam supaya Tuhan kembali mempertemukannya dengan aktor yang sedang naik daun, Keegan Tanuatmadja. Namun, satu menuju empat tahun semu berpapasan dengan Ulsa, bukannya Keegan, di lingkungan yang sama. Untung saja temannya itu memilih jurusan Keolahragaan, bukan Ilmu Komunikasi.

Menempuh pendidikan di perkuliahan tidak jauh berbeda dengan bersekolah. Hanya saja seorang dosen jelas bukan guru yang dulu selalu mengoceh agar sedikit tidaknya sang anak didik naik kelas, meskipun semua nilai sama rata dengan KKM. Rika merasa tertantang setiap kali dosen bersikap tak acuh jika ada mahasiswa atau mahasiswi lupa mengerjakan tugas individu maupun tidak aktif—dan berakhir dicoret anggotanya sendiri dalam ujian kelompok.

Menemukan alasan sendiri untuk betah berkuliah membuat Rika semakin bersemangat melanjutkan pendidikan Ilmu Komunikasi diiringi kursus fesyen setiap Senin dan Kamis malam, berlanjut ke Sabtu pagi. Perilaku dingin Firdha perlahan mulai melembut setiap memandangi putri bungsunya turut meletakkan mesin jahit mini di meja belajar ketika sedang menyelesaikan tugas Sosiologi Perubahan Masyarakat.

Wanita itu juga terkejut di semester satu Rika mencoba bekerja paruh waktu untuk sebuah studio photoshoot di divisi pemasaran sebagai Graphic Designer. Rika berjanji pada diri sendiri akan memberitahu Firdha tentang kerja samanya dengan pemilik photoshoot studio itu yang juga akan membuka bisnis thrift shop dan laundry. Berbekal hasil beragam rancangan busana setiap akhir pekan di Lacy's Boutique, Rika diberi kepercayaan membantu sang pemilik memajukan usahanya.

Pameran Perempuan dan Wanita, Gedung Galeri Seni, Institut Negeri Jakarta.

Usai mendapat curcol dari Ulsa semalam, Rika sama sekali tidak mampu memejamkan mata barang sekali. Fokus cerita temannya itu tentang seorang mahasiswa yang mengejek rival Ulsa, Galuh—laki-laki yang hobi crossdresser.

Walaupun awalnya Rika penasaran kenapa perempuan jangkung itu justru membela musuh bubuyutannya, begitu mendengar nama familier menjadi salah satu tim pro Galuh ... mood Rika menjadi buruk sepanjang hari.

Padahal di Minggu pagi itu sengaja ia jadwalkan berjalan-jalan dengan Ulsa demi menghilangkan penat akan kesibukan belajar, kursus, dan part time. Akan tetapi, mulut Rika juga gatal untuk tidak bertanya, "Galuh suka sama Keegan?" Ulsa hanya terdiam memunggungi Rika—pura-pura mengagumi lukisan di dinding yang berlawanan arah. "Atau sebaliknya?" timpal Rika lagi dengan jantung berdebar-debar keras menanti jawaban.

Saat Rika berdiri sejajar dengan Ulsa, baru temannya itu menjawab, "Galuh kan ... sukanya sama Joon," sahut Ulsa tidak yakin.

"Kok ragu gitu jawabnya, sih," keluh Rika, lalu bersorak gembira di dalam hati. Berhubung doanya agar berjumpa Keegan, walau sesaat, terwujud—Rika kini menyelipkan permintaan lain kepada Tuhan semoga sahabatnya yang plin plan, ceroboh, dan mudah putus asa di sampingnya menemukan pasangan hidup bersifat lugas, pede, dan pastinya memotivasi Ulsa keluar dari zona nyaman.

Ulsa mengembuskan napas kesal. "Bisa enggak, sih, sekali aja lo jadi orang yang enggak tahu apa-apa."

Rika mengangkat kedua alis jahil. "Lantas? Galuh suka sama lo?"

"Apa-apaan?!" seru Ulsa menoleh ke Rika panik, tetapi langsung menunduk malu karena jadi sorotan semua pengunjung. "Rusuh!" misuh Ulsa, sedangkan Rika terbatuk-batuk karena menahan tawa yang nyaris tersembur.

"Galuh itu suka mainin perasaan orang! Joon suka sama kakaknya, enggak mungkin Galuh enggak tahu! Terus kenapa coba dia ngajak gue rebutan Joon kalau udah tahu tuh cowok suka orang lain?" Ulsa kerap mencecar sosok kecil nan licik Galuh yang memenuhi kepalanya. Akan tetapi, fokus Rika beralih ke pengunjung yang baru memasuki ruangan di mana mereka berada. "Lho, Keegan?" Ulsa menyuarakan kata yang hanya bisa Rika ucapkan lirih dalam hati.

Kedua netra emerald gelap Keegan tertuju lurus ke Rika yang juga balas menatapnya tanpa berkedip. Keduanya lupa ada Ulsa yang berdiri menjulang di antara mereka dan menatap sepasang insan itu bergantian. "Kemarin kalian beneran mutusin orang bareng?"

Kemarin di salah satu kelas Fakultas Ilmu Komunikasi.

"Udahlah! Bosan gue sama kisah cinta sendiri! Lo gimana, Rik?"

Rika menyahut bingung, "Gimana apanya?"

Gantian Ulsa memasang ekspresi heran. "Lo kemarin habis ditembak kating, kan? Jawab apa lo? Hayo, Surya mau dikemanain?" sindir Ulsa bertubi-tubi.

Rika berdeham gugup setelah mencuri pandang sekali ke Keegan yang menyuap stick cokelat ke dalam mulut. Laki-laki itu tampak diam saja, tenang memandangi titik-titik merah kartu domino di depan matanya.

"Lo tahu sendiri gue enggak suka orang malas kan, Sa?"

"Lho, ada apa sama si kating?"

"Dia cuti kuliah dan skripsiannya molor!"

Atensi Ulsa sempat teralihkan karena ia merasa Keegan tertawa kecil, tetapi ternyata teman satu klubnya itu batuk karena tersedak camilan yang baru ia telan.

Rika menggelengkan kepala kuat-kuat. "Ogah! Nanti sifat malas dia menular ke gue!"

Ulsa sangsi Rika yang ambisius kubik itu akan terpengaruh oleh pacar atau pun calon pacarnya sekalipun. "Mana ad–"

"Jadi lo mau nolak si kating?" potong Keegan mendahului Ulsa. Rika mengangguk, sedangkan Ulsa memandangi laki-laki di sisi kirinya itu penuh curiga. Keegan adalah laki-laki yang peka. Tanpa melirik Ulsa, ia tahu teman Rika itu orang yang skeptis. "Gue juga mau putus sama kating, soalnya dia terus-terusan maksa join setiap gue mau jalan ke rumah teman-teman SMA."

"Kenapa dia enggak boleh ketemu teman lo?" selidik Ulsa.

"Pacaran aja baru sebulan, Sa, PDKT cuma seminggu. Baru dekat aja udah maksa banget mau jadian, jadi mending diakhiri aja, deh!"

Kini gantian Rika yang bertanya penasaran, "Udah tahu pemaksa, kok, masih diterima jadi pacar?"

"Kating yang gue pacarin ini mantan selingkuhan pacar sepupu gue, jadi yah ... cuma pelampiasan dikitlah, biar sepupu gue puas juga." Keegan menunjukkan senyum lima jarinya pada Rika dan Ulsa yang menatapnya tak habis pikir. "Oh! Hai, Galuh! Pagi!" sapa Keegan. Mendengar ucapan laki-laki itu seketika Ulsa menundukkan kepala, pura-pura sibuk dengan ponselnya.

"Hai ... kalian," sapa Galuh canggung. Ia bingung bagaimana bicara pada Ulsa yang sibuk dengan ponsel. Di saat bersamaan perempuan itu sedang duduk di kursi yang biasa ia tempati untuk mata kuliah Negosiasi dan Mediasi.

"Lo bisa main domino, kan?" tebak Keegan. Galuh mengangguk keheranan.

"Mau main juga enggak, Sa?" ajak Rika---salah menangkap maksud dialog Keegan yang laki-laki itu lontarkan. Namun, Keegan tidak kalah cepat membolak-balik percakapan supaya ia bisa memiliki waktu berdua saja dengan Rika.

Ulsa memandangi kartu-kartu domino Rika dan Keegan yang sudah jalan setengah. "All Five, ya?"

"Yup! Betul! Ulsa gantiin Rika, Galuh gantiin gue, ya!" seloroh Keegan tiba-tiba sekali. Bahkan Ulsa dan Galuh belum sempat memproses maksudnya, laki-laki itu sudah mengucapkan alasannya—dan alasan Rika yang ia buat di kepalanya barusan. "Kita harus nolak kating sekarang sebelum mereka bikin kita enggak fokus kuliah, iya kan, Rik?"

Hukum Realitas - A Novelette [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang