Bunyi suara alarm kembali memecah keheningan di dalam ruangan berukuran 4x5 meter. Ini merupakan yang ketiga kalinya benda pipih super canggih itu berusaha membangunkan tuannya. Bukannya terbangun, dia hanya membuka matanya sesaat untuk mematikan alarm lalu kembali tidur.
Barulah ketika gorden jendela kamarnya dibuka dan sinar matahari merambat masuk mengenai wajahnya, dia mulai merasa terusik.
"Kamu nih kebiasaan deh! Pasang alarm tapi gak bangun-bangun. Ujung-ujungnya Mama juga yang harus turun tangan. Kalau gini mending gak usah sekalian aja." Seperti hari-hari biasanya, hal pertama yang didengarnya ketika bangun tidur adalah omelan mama. Ini sudah seperti hal yang wajib dan menjadi sebuah kebiasaan. Memang, omelan seorang ibu jauh lebih efektif ketimbang suara bising alarm.
"Ngantuk." Tidak ada tanda-tanda si penghuni kamar akan membuka matanya, malah semakin erat memeluk gulingnya.
Mama berkacak pinggang. "Kalani Zaura! Mama gak tanggung jawab ya kalau hari pertama masuk sekolah kamu telat," katanya.
Lani, gadis itu sontak membuka kedua matanya lebar-lebar. Hari pertama masuk sekolah, semester baru! Astaga dia lupa. Libur panjang membuatnya sedikit terlena. Diraihnya ponsel di atas nakas, jam 06.45. Lima belas menit lagi sebelum bel masuk dibunyikan.
Tidak ada waktu lagi. Jarak rumahnya dan sekolah lumayan jauh. Kalau tidak cepat-cepat berangkat, bisa terlambat. Lani segera membasuh wajahnya dan menyikat gigi, tanpa mandi. Masa bodoh, pulang sekolah kan juga bisa. Setelah beres merapikan penampilannya, Lani bergegas keluar kamar.
"Sarapan dulu," sahut Mama begitu melihat Lani sudah lengkap dengan seragam sekolahnya.
"Udah telat, nanti aja di sekolah." Lani memakai sepatunya dan menolak tawaran sang mama. "Lani berangkat dulu, ya!" pamitnya seraya berlari meninggalkan rumah.
Satu menit tepat sebelum bel berbunyi Lani berhasil melewati gerbang sekolah dengan selamat. Tahun ajaran baru, murid baru. Anak kelas sepuluh terlihat berbaris dilapangan menjalani serangkaian kegiatan masa pengenalan lingkungan sekolah selama satu minggu kedepan. Melihat itu, gadis dengan rambut panjang sepinggang itu merasa nostalgia.
Sampai juga pada kelas yang diberitahu temannya lewat chat pagi tadi, Lani menghambur masuk dan menghampiri teman-temannya yang sudah lebih dulu tiba.
"Hai gengs! Pada kangen gak?" tanya Lani sumringah. Cengiran lebar jelas tercetak di wajah mungilnya. Rasanya senang sekali bisa kembali bertemu teman-temannya setelah dua minggu berlalu.
Windi, gadis berambut pendek sebahu itu menyahut, "Enggak sama sekali tuh."
"Tsk! Gak nanya sama lo."
"Miss you all so much, guys. Dua minggu gak ngapa-ngapain tuh rasanya suntuk banget. Ya untungnya sih masih sempat pergi liburan ke Thailand sebelum libur semester habis." Gabriella atau yang akrab disapa Gabby bercerita. Cewek blasteran Indonesia-Jepang ini memang yang paling tajir diantara mereka berempat. Entah bagaimana ceritanya Gabby disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah yang bisa dibilang biasa saja seperti sekolah pada umumnya. Padahal dengan kekayaan yang dipunya Gabby bisa pergi ke sekolah elit yang bayaran SPP-nya mencapai puluhan atau bahkan ratusan juta setiap bulannya. Ternyata usut punya usut katanya sih biar Gabby ini bisa hidup merakyat. Sungguh ketimpangan sosial yang nyata sekali adanya.
"Pamer. Terus aja pamer," dengus Nindi. "Kita mah boro-boro liburan ke Thailand, ke Bali aja yang masih satu Indonesia belum pernah," sambungnya keki.
"Gak pamer, kok. Gue kan cuma cerita." Gabby berujar lugas. Bisa dibilang Gabby ini memang tipe cewek polos dan blak-blakan. Apa yang ada dipikirannya dia utarakan tanpa terkecuali. Tidak peduli orang yang mendengarnya bisa saja tersinggung. Karena itu, Gabby bukannya bermaksud demikian, dia hanya tidak sadar dirinya sedang pamer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Addicted
Teen Fiction"Gak semua hal yang lo suka bisa jadi milik lo, termasuk gue." --Kalani Zaura "Then, i'll be yours." --Hagi Zainal Maalik Awalnya Hagi hanya main-main saat berkata ia menyukainya namun dengan seiring berjalannya waktu kehadiran gadis itu membuatnya...