Kalani merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah berhasil melarikan diri dari cecaran pertanyaan sang ibu yang cemas melihat keadaannya. Ibu mana yang tidak khawatir melihat anak perempuannya pulang diantar seorang laki-laki dalam kondisi lecet.
Meski Kalani sudah menjelaskan semua situasinya kalau ini terjadi karena ada sedikit kesalahpahaman dengan salah seorang murid di sekolah nampaknya Mamanya itu tidak sepenuhnya percaya. Terbukti dengan pintu kamar yang dibuka disusul dengan kehadiran Mama yang masuk ke dalamnya.
"Salah paham apa sih sampe berantem begini?" Mama duduk di pinggiran kasur. Memperhatikan wajah putrinya dengan plester di pipi juga dahi.
Kalani enggan menjawab. Dia tetap diam memejamkan kedua matanya rapat, berharap Mama mengerti kalau dirinya saat ini tidak ingin diganggu dan segera pergi dari kamarnya.
Namun ternyata salah. Rasa ingin tahu Mama lebih besar daripada rasa khawatir Mama terhadapnya. Tidak peduli seberapa lelah anaknya kalau keingintahuannya belum terpenuhi, Mama tidak akan melepas Kalani begitu saja.
"Rebutan cowok, ya?" Mama kembali bertanya. Menebak yang jadi penyebab kesalahpahaman itu terjadi. Tebakan Mama tidak salah tapi tidak sepenuhnya benar.
Memang karena laki-laki tapi bukan berebut. Kalani bahkan tidak peduli jika perempuan itu ingin menjadikan lelaki itu sebagai hak miliknya. Ambil saja, dia tidak butuh.
"Berarti cowok tadi bener kan pacar kamu? Kamu berantem sama matannya atau fans-nya? Soalnya ganteng pasti banyak yang suka dan gak terima dia pacaran sama kamu," racau Mama mulai ngelantur.
Iya, Hagi memang ganteng. Kalani akui itu. Tetapi tidak dengan kepribadiannya yang buruk. Otak mesum.
"Apa ih, enggak!" Kalani beringsut duduk. Raut wajahnya masam. "Dia bukan pacar aku," sambungnya.
"Oh, ya? Kok dia mau nganterin kamu pulang?"
"Soalnya dia emang naksir aku," ujarnya. Memang betul 'kan? Hagi pernah bilang suka padanya.
"Terus kamunya gimana?" Mama bertanya dengan tersenyum usil. "Mama gak masalah lho kalau kamu mau pacaran asal jangan melewati batas aja," godanya.
"Enggak!"
Kalani menggeleng cepat. Mengelak. Duh, amit-amit kalau harus pacaran sama cowok modelan Hagi, yang ada ngebatin mulu kerjaannya. Kalau pun boleh pacaran, Kalani maunya sama Nirvan.
"Udah, ah! Mama keluar aja." Kalani mendorong pelan tubuh Mama agar pergi. Capek ditanyain mulu.
"Iya, iya, Mama pergi. Cepet mandi, ganti baju terus makan." Mama beranjak pergi namun langkahnya tertahan di lawang pintu, lantas memutar tubuhnya saat dipanggil Kalani.
"Nanti bantu bilangin ke Papa, ya, kalau Lani cuma berantem kecil sama temen," pinta Kalani.
Mama memicingkan matanya mendengar permintaan Kalani. "Loh, tadi katanya cuma salah paham kenapa minta tolong Mama buat jelasin ke Papa?"
"Berarti bener ya rebutan cowok tadi?" tanya Mama lagi.
"Nggak. Enggak ada ceritanya ya aku rebutan cowok," sahut Kalani seraya memaksa Mamanya-yang cuma bisa ketawa melihat tingkah anaknya-cepat pergi dari kamarnya.
Selepas kepergian Mamanya, Kalani kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur empuk miliknya dan mengambil ponselnya. Ingin mengabari Nindi kalau ia pulang dengan selamat namun ternyata temannya itu sudah lebih dulu mengiriminya pesan.
Nindi : lannn aman?
Kalani Zaura : aman nin
Nindi : nyokap bokap lu gmn liat lu lecet bgt?
KAMU SEDANG MEMBACA
Addicted
Teen Fiction"Gak semua hal yang lo suka bisa jadi milik lo, termasuk gue." --Kalani Zaura "Then, i'll be yours." --Hagi Zainal Maalik Awalnya Hagi hanya main-main saat berkata ia menyukainya namun dengan seiring berjalannya waktu kehadiran gadis itu membuatnya...