iv. herado

403 93 11
                                    

Kepala Eca mendadak pusing luar biasa. Di depannya itu Rado hanya bersedekap sambil mesem memandangi Eca dengan penuh kebahagiaan. Eca nggak bahagia. Dia justru syok campur kesal melihat Rado setenang itu duduk di hadapannya. Tanpa penjelasan panjang lebar pun Eca sudah paham sejak Rado muncul di depannya tadi. Eca masih tertegun dan belum mau bicara barang sekalimat pun. Rado sepertinya memberi waktu sebanyak yang Eca mau.

Terhitung hampir sepuluh menit sejak mereka duduk berhadapan seperti itu, tapi Eca masih belum minat melanjutkan obrolannya dengan Rado. Cewek itu masih tak percaya melihat Rado. Meski sadar Eca tampaknya kaget dengan kehadirannya, Rado justru menyeruput minumannya dengan santai tanpa beban.

Siapa sangka orang yang semingguan ini bikin dia overthinking ternyata atasannya sendiri? Sumpah ya Eca migrain. Bagaimana bisa? Beneran Rado dalang di balik surat-surat itu? Rasanya, Eca masih belum percaya, tapi dengan hadirnya Rado di sana semakin meyakinkan bahwa Rado adalah orang itu. Eca pun mulai paham situasinya. Makanya dia jadi kesal ketika melihat Rado justru duduk santai di saat dirinya kaget luar biasa.

Eca mau mengamuk ketika melihat Rado tampak tenang tanpa beban. Padahal kepala Eca udah nyut-nyutan, eh tuh cowok malah menyeruput minuman dengan kalem. Eca mau meneriaki Rado, tapi dia tahan. Apalagi Rado adalah atasannya. Gimana kalau besok Senin tiba-tiba dia dipecat karena bersikap kurang ajar? Eca belum sanggup menjadi pengangguran makanya sebisa mungkin dia berlagak sopan pada Rado. Ya, meski sejatinya Rado tidak layak diperlakukan dengan sopan setelah semua yang terjadi pada dirinya.

Eca membuang napasnya untuk ke sekian kalinya. Mulut dan kepalanya sudah siap mengeluarkan unek-uneknya.

"Jadi, lo yang ngirim surat ke rumah gue dan kosan gue, Kak?" Eca masih agak sopan, tapi  memilih pakai lo-gue karena emang cuma di kantor Rado layak diperlakukan dengan saya-Anda. Bahkan banyak rekan kerja yang terbias pakai lo-gue dengan Radi dan tuh cowok nggak sedikitpun mempermasalahkannya.

Rado mengangguk dengan enteng. Melihat itu Eca langsung nyengir cringe. Bisa-bisanya Rado berlagak tanpa beban begitu sementara Eca sejak tadi sudah merinding karena memikirkan kelakuannya.

"Kenapa?"

"Bukannya udah jelas? Gue suka sama lo."

Eca nggak terima dengan jawaban itu. "Sinting lo. Lo nggak pernah kelihatan naksir gue," katanya. Eca akhirnya mode kurang ajar. Dia sebisa mungkin ingin bersikap sopan pada Rado, tapi sepertinya Rado sendirilah yang memberikan celah untuk Eca bersikap kurang ajar padanya.

"Karena emang sengaja nggak gue tunjukin."

Eca melengoskan muka. Eca akhirnya memutuskan untuk mengikuti Rado untuk membalas dengan nada tidak sopan juga "Dih, nggak usah pura-pura. Gue tahu lo cuma mau mainin gue."

Rado menurunkan gelas dari bibirnya. Cowok itu menatap lekat pada Eca hingga membuat Eca melengoskan muka karena tidak nyaman ditatap Rado seintens itu. Emang sih Rado tuh ganteng banget, terus cara berpakaiannya juga stylist karena tingginya emang mendukung, orangnya juga rapi dan wangi, tapi Eca nggak pernah kepikiran sekalipun tuh cowok ternyata sedikit nggak waras. Suka sama Eca? Anjirlah, Eca lebih percaya Rama naksir dia daripada Rado naksir dirinya. Ya, meski Eca adalah idaman semua orang, tapi Eca merasa Rado bukan orang yang bakal suka sama dia sekalipun Eca secantik Irene Red Velvet. Itu adalah pikiran asal Eca sebelum Rado dengan ugal-ugalan jujur bahwa dia beneran suka dengannya.

"Gue beneran suka sama lo, Yeneca. Tentu saja sejak beberapa tahun yang lalu."

Eca justru menanggapi dengan sewot. "Dih, nggak mungkin."

"Nggak percaya?"

Eca menyipitkan mata. Dia masih mempertahankan pendiriannya bahwa mungkin saja Rado ini sedang melakukan taruhan atau semacamnya.

Ditto. | BluesyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang