2🕖

360 28 6
                                    

Malam minggu yang indah, selayaknya para pemuda yang sedang dimabuk cinta, Bara mengajak sang kekasih untuk keluar menikmati indahnya pemandangan malam ibukota.

Mulai dari bandrek, sampai pentol jurig pun menjadi incaran keduanya untuk menambah keromantisan disana.

"Gimana interviewnya kemarin? Lancar?" Jemmy membuka pembicaraan

"Lancar sih, ya semoga aja kali ini abang beneran diterima ya." Jawab Bara pasrah.

"Bang... Aku ga pernah maksa kok kalau memang fasion kamu bukan disana. Aku masih bangga kok dengan pekerjaan kamu yang adalah seorang bos bengkel." Jemmy berusaha menyemati sang kekasih yang terlihat lesu.

"Aku tau, kamu pasti mendukungku. Ga ada sedikitpun keraguan di hatiku tentang kamu dek. Cuma ---- kan kamu tau sendiri, orang tua kamu ga suka dengan pekerjaan aku saat ini. Mereka menganggap aku sama saja dengan pengangguran pada umumnya, sehingga Daddy kamu takut untuk merestui hubungan cinta kita."

"Kalau memang ini semua karena sudut pandang Daddy yang salah tentang kamu. Ijinkan aku untuk membantu merubahnya."

"Engga sayang. Aku mengerti apa yang menjadi kekhawatiran Daddy kamu. Mana ada sih, orang tua yang tega melihat anaknya hidup susah. Apa lagi, kamu adalah lulusan terbaik, dari kampus luar negeri pula. Mana mungkin beliau merelakan kamu yang anak emas ini dipinang oleh bongkahan batu kali yang tak berharga ini."

"Kok abang ngomongnya gitu sih? Abang mau nyerah? Abang rela liat aku menikah sama orang lain? Tega ya!"

"Loh, fokusnya jangan kesana dong sayang. Maksudku kan bukan seperti itu."

"Halah! Sama aja! Intinya abang lelahkan memperjuangkan cinta kita?! Hayo! Ngaku!" Mata Jemmy berkaca-kaca. Perih tersisip di hati kecilnya ketika benaknya mengirim sebuah kesimpulan yang belum jelas kepastiannya.

"Engga sayang --- kalau abang emang niat mau nyerah, ngapain abang mati-matian siang malem cari duit, ngelamar kerja kantor sana sini, semua itu demi apa? Demi bisa meyakinkan hati Daddy kamu kan?"

"Ya tapi kenapa ngomongnya gitu?!" Air mata itu tak kuasa lagi dibendung. Jemmy pun terisak ringan di hadapan sang kekasih.

Bara terhenyut. Di rengkuhnya tubuh sang pujaan, lalu surai pirang itupun dibelai lembut.

"Maaf sayang, aku ga bermaksud bikin kamu sedih." Sebuah kecupan manis mendarat indah di pucuk kepala Jemmy.

"Umh... Jangan minta maaf terus, abang ga salah apa-apa kok. Cuma akunya aja yang lagi sensitif." Ujar Jemmy manja.

"Sensitif? Jangan bilang kamu hamil?" Terka Bara, membuat sebuah pukulan telak mendarat di bisep kekarnya.

"HUSHT!! Sembarangan aja kalau ngomong! Emang kapan kita bikinnya?! Kamu aja kalau jalan, mana ada inisiatif buat peluk aku duluan?! Harus aja aku yang nangis dulu, ngerengek dulu, baru deh itu tangan sama hatinya gerak! Males!" Umpat Jemmy kesal.

"Ngambek nih ceritanya?"

"Engga! Siapa yang ngambek?!" Bantah Jemmy meski raut wajahnya mengatakan sebaliknya.

Bara menatap wajah Jemmy lama. Meski Jemmy sudah mencoba mengabaikannya, namun pada akhirnya yang muda mengalah juga.

"Kenapa sih liatin aku nya gitu banget?! Muka ku aneh ya?" Tanya Jemmy risih.

"Engga. Justru manis banget. Kira-kira kalau tes di klinik, aku bakal divonis diabetes ga ya, gara-gara punya pacar semanis kamu?" Goda Bara.

"Cih! Gombal! Males ah! Receh!" Jemmy bangkit menghindar, guna menyembunyikan raut wajahnya yang memerah.

[BL] Different TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang