"Kenapa kau memegang hal menjijikan itu?"
Kalua sontak menatap ke atas. Masih dengan wajah yang basah. Menatap tak percaya pada lelaki yang hanya mengenakan celana hitam panjang dan duduk di atas dahan tertinggi sedang memandanginya dengan seulas senyum.
"A...ran?" panggil Kalua tak yakin dengan suara serak.
"Aku di sini. Kenapa kau menangis?" Aran melompat turun dan membantu Kalua berdiri. "Dan untuk apa kau membawa bekas kulitku? Itu sangat menjijikan. Cepat buang," imbuhnya.
"Kulitmu?"
Aran mengangguk dan menatap Kalua dengan sorot mata polos. "Iya. Kami laba-laba memiliki kulit luar yang tidak bisa tumbuh dengan badan kami karena sebenarnya itu adalah cangkang keras. Kami akan melepas cangkang terluar setiap dua empat minggu sekali agar tubuh kami bisa terus tumbuh," jelas Aran santai seperti tak pernah ada apa-apa. "Beberapa hari ini badanku tidak enak. Aku tidak selera makan sampai pagi tadi akhirnya aku tidak dapat lagi menahannya. Aku melepas cangkangku dan karena itu sekarang aku jadi sangat lapar. Apa kau punya makanan?"
Kalua hanya diam menunduk, mengepalkan tangan. "Makan saja pukulanku!" Kalua tiba-tiba melayangkan pukulan pada Aran dengan wajah kesal. Dengan mudah Aran menangkap pukulan itu dan menarik tubuh Kalua ke dalam pelukannya.
"Kenapa kau galak sekali hari ini?" tanya Aran sama sekali tak peka.
"Kau menyebalkan!" Kalua memukul dada Aran beberapa kali. Yang dipukul hanya terkekeh tanpa rasa bersalah. Ia usap pelan kepala Kalua. "Sekarang badanku lebih kuat daripada sebelumnya. Coba kau rasakan. Bukankah ototku terasa jauh lebih padat dan kuat?"
Kalua hanya diam. Dan tanpa sadar kembali meneteskan air mata. Sungguh menakutkan bila bangkai yang baru saja ia lihat itu benar-benar mayat Aran. Kedua tangannya Kalua mengepal erat di dada Aran yang memang terasa lebih bidang dan kuat. Sementara tangisnya semakin berderai.
"Kau memikirkan apa, Kalua?" tanya Aran lembut, memeluk tubuh Kalua dan mengusap belakang kepalanya perlahan.
Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benak Kalua.
Seandainya Aran benar-benar meninggalkannya tanpa kata perpisahan, Kalua memutuskan untuk ikut pergi bersamanya. Seandainya Aran benar-benar pergi, hidup sudah tak ada lagi artinya untuk Kalua. Semesta sudah tidak layak untuk ditinggali bila Aran tidak ada lagi bersamanya.
"Kalua..." Suara berat Aran bisa Kalua rasakan bervibrasi pada dadanya. "Apa yang kau pikirkan?"
"Aku tak akan memberitahumu," balas Kalua.
"Kau pasti berpikir kalau itu tadi mayatku, 'kan?" tebak Aran tepat sasaran. Kalua hanya mendengus kesal yang disahuti dengan kekehan rendah dan usapan gemas di kepala. "Lima tahun lalu, di malam badai yang kau ceritakan, aku ada di sana. Melihatmu terjun ke dalam jurang dengan sungai deras di dasarnya," kata Aran lembut. "Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi neraka kesepian itu lagi. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan ada di sisimu, menemanimu dan tak pernah membiarkanmu sendiri lagi."
"En..." Kalua mengangguk lemah.
Aran semakin erat memeluk Kalua. "Rasakan..." ucapnya lirih. Angin pagi berhembus pelan dan kesunyian pagi ini membuat Kalua bisa mendengar dan merasakan dengan jelas irama jantung mereka yang saling tumpang tindih.
"Kalua, dengarlah. Jantungku berdetak untukmu." []
[SELESAI]
singkat aja, cuma pindahan yang dari akun X.
buat back up, jaga-jaga kalo X beneran kena blokir Kominfo.thank you yang udah baca. semoga menghibur ya.
xoxo,
jjschatz
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA HUJAN | NOMIN [END]
FanfictionBermula pada suatu pagi, kala hujan pertama turun di bulan Desember. Seorang lelaki asing muncul di depan rumahnya dalam keadaan basah kuyup. Lalu, tanpa pikir panjang dan prasangka, Kalua mengizinkan lelaki itu untuk masuk ke dalam rumah. jjschatz...