4. Aran

205 33 0
                                    

"Hei, bangun. Kalua..."

Samar-samar suara Aran menembus alam bawah sadar Kalua. Sedikit mengusik sebab ia merasa baru tidur sebentar. Terbangun terus di malam hari membuat tidurnya tak nyenyak. Dan Kalua masih butuh tidur lebih lama lagi.

"Kalua, bangun."

"Lima menit lagi," balas Kalua malas semakin bergelung di dalam selimut. Udara pagi di hutan Gunung Mauria terasa sangat dingin. Membekukan tulang-tulangnya. Tapi, rupanya si tamu tak peduli. Dengan semangat Aran menggoyang-goyang tubuh Kalua.

"Bangun, Kalua. Ada orang yang mencarimu di bawah." Kesadaran Kalua seketika terkumpul dengan utuh. Buru-buru ia bangun dan membuka jendela. Hawa dingin yang menusuk langsung menyapu wajahnya.

"Era," seru Kalua memanggil orang yang berdiri di depan rumah. Pemuda itu—Era, mendongakkan kepala, memberi senyum lebar dan lambaian tangan. Menyapa Kalua.

"Aku membawa pesananmu," seru Era lantang, beradu dengan suara gerimis. Ia menepuk gerobak kecil tertutup terpal biru penuh dengan barang di sampingnya.

Kalua mengangguk lalu bergegas turun. Membukakan pintu dan menyambut kedatangan Era dengan senyum senang yang bercampur perasaan bersalah.

"Maafkan aku sudah merepotkanmu. Dari kemarin hujan deras. Dan hari ini kau harus kehujanan mengantarkan pesananku," kata Kalua tak enak hati seraya menerima kardus berbungkus plastik bening yang diangsurkan Era padanya.

"Tak perlu sungkan, Kalua. Bukankah aku sudah biasa seperti ini? Lagi pula hujan ini tidak akan berhenti untuk beberapa hari ke depan. Dan ada kemungkinan akan lebih deras dari hari sebelumnya."

"Benarkah?" tanya Kalua setelah mengucap terima kasih. Era mengangguk yakin. "Kau bisa merasakan anginnya. Angin ini membawa awan penuh air hujan."

Kalua hanya mengangguk percaya. Era adalah penduduk asli dan sangat hafal dengan kondisi di gunung ini. Dan bila ia bilang hujannya akan lebih deras, maka itulah yang akan terjadi.

"Semua pesananmu berhasil aku dapatkan," kata Era bangga.

"Tak diragukan lagi. Kau memang bisa diandalkan. Dan kebetulan persediaan di rumahku sudah sangat tipis. Hanya cukup untuk tiga hari lagi," kata Kalua seraya memindahkan kardus-kardus dari gerobak Era ke teras.

Aran datang untuk membantu. Membuat Era terkejut mendapat orang lain di rumah Kalua.

"Eh, kau ada tamu? Siapa?" tanya Era.

"Ah, iya. Dia Aran. Pendaki gunung dari kota yang tersesat kemarin."

Era hanya mengangguk. Tak bertanya lebih lanjut. Namun, matanya masih terpaku dengan lekat pada laki-laki yang sejak tadi hilir mudik mengangkuti kardus dari teras ke dalam rumah.

"Omong-omong, wortelmu apa sudah bisa dipanen?" Era mencari topik pembicaraan lain.

"Sudah. Kemarin lusa baru selesai aku panen. Kau bawa sebagian, ya?" kata Kalua membawa kardus terakhir dan mengajak Era untuk masuk ke rumah.

"Terima kasih. Kebetulan aku sedang ingin membuat kue wortel," balas Era senang.

Kalua mengangguk. Senyumnya terkembang lebar. Keduanya lalu berjalan menuju sebuah ruangan di dekat dapur yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan.

Aran sedang duduk bergelung selimut tebal di meja makan. Menikmati kopi yang ia seduh sendiri seraya memandangi hujan di luar. Air mukanya terlihat sangat santai, tapi diam-diam dia mengawasi Kalua dan Era dari ekor matanya.

Sekilas Aran bisa melihat tempat penyimpanan itu terdiri dari rak-rak besar hingga yang menutup dinding. Rak-rak itu berisi botol-botol yang Aran tebak berisi minuman beralkohol buatan Kalua.

KALA HUJAN | NOMIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang