6. Rinai Hujan

211 37 1
                                    

Suatu hari, Aran melihat sepasang mata yang begitu cantik. Bulat, jernih dan bersinar. Bahkan saat tubuh si pemilik mata perlahan tak mampu menopang kehidupan serta kegelapan menghalangi pandangannya, mata itu tetap jernih dan menjadi hal terindah yang ia lihat.

Pertama kali dalam rentang hidupnya, ia melihat mata sejernih dan seindah itu. Mengalahkan keindahan saat mangsanya sedang berjuang tanpa henti ketika sudah terjatuh ke dalam jaring perangkapnya.

Mata yang ia lihat hari itu, tidak bisa dilupakan.

Aran ingin memilikinya.

Bahkan ia rela menukar setengah dari umurnya kepada Mauria, sang Dewa Gunung untuk bisa mendapatkan sepasang mata cantik dari pemuda yang dilihatnya.

Dan Aran serius akan hal itu.

Sehari setelah Aran melihat si pemilik mata, ia langsung menemui Mauria dan menukar setengah masa hidupnya dengan wujud manusia. Sang Dewa Gunung mengabulkan pertukaran itu. Namun, dengan syarat bahwa wujud manusianya hanya akan muncul saat hujan badai bulan kesepuluh delapan belas tahun kemudian.

Tak masalah. 18 tahun adalah waktu yang singkat untuk Aran. Rasanya hanya seperti mengedipkan mata beberapa kali.

Namun sebelum masanya berubah wujud tiba, pada suatu malam...

"Hei... Hei! Apa yang kau pikirkan? Kau tidak benar-benar akan melompat ke bawah, 'kan?" Aran bergerak cepat di salah satu dahan. Mata laba-labanya awas mengamati seorang pemuda yang sedang berdiri di bibir jurang.

"Hei, kau yakin dengan ini? Di dasar sungai itu dipenuhi bebatuan keras dan tajam. Tengkorakmu akan hancur berkeping-keping. Kau akan tercekik, sementara darah dan air sungai akan memenuhi tubuhmu. Nantinya kau harus berjuang keras dalam waktu yang lama melawan rasa sakit yang tak ada habisnya sampai pada hembusan napas terakhirmu. Hei, kamu dengar aku? Jangan lakukan itu." Aran terus menerus berteriak, namun pemuda itu jelas tak akan bisa mendengar. Suaranya bahkan tak muncul. Hanya seperti desisan kecil yang kalah dengan suara hujan dan arus sungai ganas.

"HEI, BERHENTI!!! JANGANNN..." teriak Aran saat pemuda itu telah melompat ke dalam sungai.


Hujan baru berhenti seminggu kemudian. Era berencana mengunjungi Kalua untuk mengecek keadaannya. Maka, di ujung hari setelah mencari jamur di hutan, ia mampir ke rumah pemuda itu.

"KENAPA KAU MASIH DI SINI?" Era berteriak saat mendapati Aran yang sedang bersantai di teras, terbungkus selimut seraya mengisap rokok kretek lintingan. Kini ia sudah sepandai Kalua dalam melinting rokok. Rapi meski rasanya masih jauh bila dibandingkan dengan racikan Kalua.

"Kenapa aku tidak boleh di sini?" balas Aran tak acuh, menjentikkan rokok santai hingga abu di ujungnya jatuh ke asbak. Dia sama sekali tak terganggu meski Era berteriak-teriak memanggil nama Kalua.

"Kalua! Kalua! Di mana dia?" Era berseru memanggil Kalua berulang-ulang. Suasana di dalam rumah begitu tenang hingga memunculkan sebuah kecurigaan. Era melempar tatapan murka penuh tuduhan.

"Jangan-jangan... Kalua... Kau sudah...?" Mata Era membelalak lebar saat Aran justru memberinya sebuah senyuman miring. Tak lama setelahnya, Era tersedu-sedu dengan air mata berlinang deras. Meneruskan kehebohannya.

"Wuwuwuuuu... Ini semua salahku! Seharusnya aku menyingkirkanmu dari kemarin. Huhuhuhu, Kalua. Maafkan aku..." Era tak ubahnya anak kecil yang kehilangan balon. Bersujud di depan pintu rumah sambil meraung-raung sedih dan marah. Aran hanya membiarkan pemuda itu merengek. Itung-itung hiburan gratis biar tak terlalu sepi.

KALA HUJAN | NOMIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang