Chapter 31

9.2K 403 146
                                    

Note: vote dulu sebelum membaca

***


Sinar mentari pagi ini tidak terlihat sama sekali. Awan hitam menyelimuti. Tetesan air hujan kian deras membasahi kota jakarta. Hera yang melihat tetesan air hujan dari balkon kamar hanya bisa menghela nafas. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh dan hujan belum ada tanda-tanda untuk reda. Sementara itu, Hera juga dibuat gelisah karena sejak semalam, Nangala belum pulang hingga kini. Entah kemana lelaki itu sekarang.

Apa mungkin nongkrong? Tapi Hera baru saja menelpon Sangkara yang mengatakan bahwa Nangala tidak nongkrong bersama mereka. Apa Nangala pulang ke rumah orangtuanya? Hera menggeleng pelan, tidak mungkin. Masa Nangala lupa arah jalan.

"Tuh laki kemana sih?" tanya Hera kebingungan.

Hera ingat sekali setelah ia di buat kehabisan nafas semalam ia mendengar suara telepon berdering, namun pada saat itu Nangala tidak menjawab karena sibuk menggerayangi nya. Setelah ia dibuat lelah barulah laki-laki menggubris ponselnya lalu memanggil sang penelepon. Terdengar suara Nangala yang mengumpat. Entah apa yang di katakan sang penelepon yang jelas Nangala tampak kesal.

Setelah Nangala pergi Hera baru berani membuka matanya. Dan kembali melanjutkan tidurnya setelah itu. Lalu paginya ia dibuat kebingungan saat tidak mendapati Nangala. Seluruh rumah isinya kosong tidak ada tanda-tanda keberadaan suaminya itu.

Hera mengambil ponselnya lalu menghubungi nomor ibu mertuanya itu. Siapa tahu Nangala benaran salah alamat karena lupa.

Di deringan pertama langsung di jawab oleh Disa, "Halo, Assalamualaikum sayang, kenapa nelpon pagi-pagi nih Nangala buat kamu kesal lagi?" sapa Disa dan berbagai pertanyaan.

"Waalaikumsalam, pagi, Mah. Enggak kok mah tenang aja." balas Hera membuat Disa menghela lega.

"Pagi, syukurlah kalau begitu. Kenapa sayang tumben nelpon Mama?"

Mendengar pertanyaan ibu mertuanya membuat Hera ragu. Hera mengigit jarinya seraya mondar-mandir. Apa yang harus ia lakukan? Apa ia tetap pada tujuan utamanya atau diam saja. Sungguh, Hera rasanya seperti istri yang tidak becus, sampai-sampai keberadaan suaminya sendiri saja ia tidak tahu.

"Kok diam? Apa Gala berbuat macam-macam. Apa dia marah-marah tidak jelas? Mana Galanya biar Mama omelin dia kalau benar begitu. Anak itu memang gak waras. Dulu ngebet minta kawin, setelah kawin malah marah-marahin istrinya sendiri."

Lagi-lagi Hera meringis. Gadis yang sudah memakai seragam sekolahnya itu hanya bisa memutar otak untuk mencari alasan. Mendengar perkataan sang ibu mertua yang menanyakan keberadaan Nangala, jelas wanita paruh baya itu tidak tahu di mana keberadaan Nangala.

"Eh enggak kok, Mah. Hera cuma mau tanya di sana hujan gak, Mah?"

"Hujan tapi udah mulai reda sih ini. Kenapa emangnya? Di sana juga hujan?"

Hera mengangguk walaupun ia tahu Disa tidak bisa melihatnya. "Disini malah sebaliknya, Ma. Hera bahkan gak bisa ke sekolah karena hujannya gede-gede."

"Hah? Kan ada mobil sayang."

Tersadar akan kebodohannya, gadis itu menepuk dahinya. Sial, Hera keceplosan. "Emm, itu mah mobilnya belum di servis jadi y-ya gitu rusak." bohongnya.

Astaga, kenapa malah gini sih.

"Rusak? Apa perlu Mama suruh supir mama buat jemput kalian."

"Gak usah, ma. Tadi udah pesan taksi kok." tolak Hera halus.

"Kayaknya hujan mulai turun lagi di sini." ujar Disa memberitahu. Di seberang sana, terlihat air mulai menggenangi taman kediaman Adiwijaya.

"Kayaknya di sini airnya udah mulai naik deh, Mah. Tapi gak terlalu cepat juga sih naiknya. Tapi, kalau hujannya gak berhenti-henti bisa jadi akan ada banjir." balas Hera.

NANGALA (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang