08.

1 1 0
                                    

Pagi harinya.

Takhta sang Raja malam telah dilengserkan oleh sang Surya. Di halaman depan Manor Klan Cheon, orang-orang berkumpul seperti semut.

Itu adalah orang-orang dari Sekte Wu Tang yang akan segera pergi, berhadapan dengan keturunan pemimpin klan.

“Terimakasih karena telah sudi menampung kami yang rendah ini, Tuan muda dan Nona muda sekalian.”

Baek Ji, sebagai perwakilan yang menjadi sahyung agung Wu Tang, berbicara penuh kehormatan pada calon penerus Klan.

Cheon Munhak mengangguk ringan sebagai tanggapan, dia masih sama dinginnya terhadap orang lain. Dan adik perempuannya, Cheon Yeehwa tersenyum dan berbicara lembut.

“Tidak apa-apa, jangan merendahkan diri seperti itu murid muda, bagaimanapun anda sekalian adalah tamu.” ucapnya. Kemudian dia melanjutkan.

“Saya menyampaikan ucapan pemimpin klan, beliau berkata bahwa beliau menyetujui pesan pemimpin Sekte. Kalian akan berangkat dengan kereta kuda bersama prajurit elit Klan Cheon. Kami mendoakan yang terbaik untuk kalian, selamat berjuang dan kembalilah dengan selamat.”

Dalam situasi seperti ini, Baek Ji mengangguk hikmat. Pria itu dibuat terharu sekaligus bersyukur karena mendapatkan bala bantuan yang mumpuni. Dia berpikir, setidaknya dengan ini, jumlah korban akan berkurang signifikan.

Dia tahu, Klan Cheon yang bermartabat telah memikirkan banyak sisi untuk menerima permintaan pemimpin Sekte Wu Tang. Meskipun keuntungan yang didapat mungkin tidak besar. Tetapi setidaknya, pamor mereka akan melambung naik, dan itu akan sangat menguntungkan.

Prajurit mereka akan mengalami luka fatal namun tak cukup untuk menghabisi nyawa mereka. Dan berkat itu, Sekte Wu Tang pula menjadi terbantu.

Intinya, keduanya sama-sama mendapatkan keuntungan.

Setelah sedikit berbincang, kelompok Baek Ji meninggalkan pekarangan Klan Cheon dengan beban di pundak mereka.

Kedua saudara yang menyaksikan kepergian orang-orang itu, lekas berbalik memasuki Manor. Mereka masih memiliki banyak hal untuk diurusi, mereka memang muda tapi pekerjaan mereka tidaklah sedikit.

Itu adalah tanggung jawab yang diberikan oleh pemimpin Klan, juga oleh kakek mereka yang menambah banyak beban.

Cheon Miju melihat semuanya dari jendela kamarnya, dia tampak merenung terdiam.

“Hm... Apa mereka bisa mengatasinya?”

Sebagai orang dari dunia modern, dia tidak begitu paham akan permasalahan yang terjadi. Tapi, dia paham betul beban beratnya seperti apa, bagaimanapun juga, ini adalah dunia Murim.

Dia tidak sebodoh itu untuk mengabaikan fakta itu.

“Yeah... Terserahlah, lagipula itu bukan urusan ku. Untuk saat ini, lebih baik aku melatih kemampuan ku.” ucapnya penuh semangat.

Benar, daripada memikirkan orang lain dan hal-hal tak perlu lainnya. Akan lebih baik jika dia melatih kemampuannya sendiri, karena tujuan utamanya tetep tidak akan berubah, yaitu untuk bertahan hidup.

Cheon Miju mengambil pedang kayu dan membawanya bersamanya menuju halaman belakang. Sambil berdendang, dia berjalan santai.

.

Halaman belakang Paviliun Giok Liong.

Pekarangan paviliun itu sangat luas, di tumbuhi oleh banyaknya tumbuhan cantik yang terawat baik-baik. Pemandangan yang indah itu begitu menyegarkan mata, melihat sekelilingnya yang bersih membuatnya tersenyum puas.

Dia, Cheon Miju menoleh ke kanan dan ke kiri. Bagus, tidak ada orang di sini!

Dia akhirnya bisa berlatih dengan leluasa dan sendirian. Tadinya dia akan berlatih di halaman belakang Manor, namun harus berubah karena pasukan pendekar yang sedang dilatih oleh instruktur Wang Geom. Melihat mereka berlatih disana, itu berarti tempat latihan tengah penuh oleh prajurit lain atau kembali rusak saat latihan.

Itu hal yang wajar.

Cheon Miju mengambil posisi kuda-kuda, dia akan mempraktikkan keterampilan pedang dengan seni tari yang dikolaborasikan. Dia yakin dia bisa, meskipun itu sulit.

Setelah mengambil nafas, dia mulai bergerak.

Pertama-tama, itu adalah gerakan sederhana yang membuat orang menguap bosan. Dan selanjutnya adalah gerakan sederhana dari tarian daerah sebagai permulaan, dilanjut dengan tarian yang diketahuinya saat berada di agensi.

Jika orang lain melihatnya, mereka akan memiringkan kepala bingung. Gerakan itu cepat dan ringan, namun tusukan pedang yang mengayun tampak berat dan tajam.

Sulit mengidentifikasi apakah itu seni pedang atau gerakan acak, karena polanya tak beraturan.

Menurut Cheon Miju sendiri, itu adalah gerakan yang menyulitkannya.
Tapi dia senang dan senang, itu membuatnya nostalgia.

Semangatnya tak surut sekalipun tulangnya terpelintir.

The Idol Rebirth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang