Sering datang terlambat, seragam dikeluarkan, dua kancing teratas dibiarkan terbuka, kalung gading putih menghiasi leher, rambut tebal acak-acakan, tidur saat jam pelajaran, push rank saat guru menjelaskan, dan sepatu Air Jordan hitam putih yang dipakai lima hari berturut-turutーadalah gambaran dari sosok Dean Nauha Raputra.
Deskripsi tambahan, sosok Dean kerap kali keluar masuk BKーkadang karena panggilan kadang karena ingin ngademーdan selalu nongkrong di depan kelas setiap jam istirahat maupun di pojok parkiran setiap jam pulang sekolah.
Dean baru menonjol saat menginjak kelas sebelas. Ia yang awalnya diajak berkumpul sudah menjadi si-pengajak-kumpul. Lingkungan pergaulan Dean bisa dibilang kumpulan anak nakal karena tingkah mereka yang suka sembrono; berpakaian semrawut, tidak memperhatikan pelajaran, rajin membolos, dan masih banyak lagi yang membuat nama mereka sering disebut di kantor guru. Untungnya, selama ini level kenakalan mereka tidak sampai ke tahap ancaman drop out.
Sebagai seorang siswa, selain tabiatnya yang suka abai dengan kegiatan kelas, Dean sendiri bukanlah sosok yang pintar. Ia sering lupa dengan tugas bahkan ulangan sekalipun. Tak seperti Hosea, Resa, Ali, dan lainnya yang dengan tidur saja bisa melampaui yang begadang, Dean memiliki kesulitan dalam memahami sesuatu. Dan dengan segala kebodohan dan gengsi miliknya itu, ia mengambil kelas IPA. Tahun pertama ia bisa survive karena saat itu ia akrab dengan kumpulan anak pintar tapi menjelang tahun kedua hingga awal tahun ketiga, Dean sudah melambaikan bendera merah. Itu juga yang menjadi faktor kenakalannya yang semakin parah.
"DEAN! ALMETNYA!!"
Brumm...
"Yahh telat sih, bu. Hehehe"
Keluarga Dean terdiri dari empat anggota. Ayah, Ibu, Dean, dan adik. Menjadi enam jika burung hantu dan bunglon peliharaan mereka masuk hitungan.
Ritta, sang ibu melirik Dika tajam. Anak bungsunya ini selalu mengerjai Dean dengan berteriak heboh seakan-akan jam sudah menunjukkan waktu tengah hari. Dan Dean dengan linglung khas baru bangunnya menurut saja saat sang adik membantunya bersiap. Bersiap menuju sekolah dan bersiap menerima hukuman di sekolah.
"Kamu ini! Kalau kakakmu kena omel pas upacara gimana?"
"Waduh, ya resiko, hehehe"
"Dika!!"
"Berangkat dulu, ibu. Dadah!!"
Dika yang sedari tadi duduk di jok sepedanya langsung ngacir melihat pelototan Ritta. Ritta yang melihat itu mendengus kesal. Ia kembali masuk ke dalam rumah saat telepon rumah berdering.
Klik.
"Halo?"
"Ritta? Ini mas"
"Mas? Kok, pakai telepon rumah?"
"HP mas mati. Kenapa gak telpon kamu? Karena mas cuma hafal nomor rumah"
Ritta mengangguk-angguk. Suaminya, Widjaya memang sangat peka.
"Ada apa, Mas?"
"Anak-anak sudah berangkat?"
"Barusan. Capek aku, mas. Dika ngerjain kakaknya lagi. Gimana coba itu anak, almetnya ga dibawa, minum juga lupa"
"Hm, nanti mas kasih ingat Dika. Kamu tolong bilang ke anak-anak malam nanti kosongkan jadwal, jangan pergi. Papa mau ajak makan malam sama rekan di Souleta"
"Dadakan banget? Mas pulang hari ini?"
"Iya. Cuma sampai 2 hari"
"Hm, ok mas. Ntar aku WA anak-anak"