4. Anak Nakal

16 0 0
                                    

Tiga hari berlalu. Pertandingan basket antar sekolah event kepunyaan Smada telah selesai. Dan sesuai prediksi, SaKa kembali menang untuk kesekian kalinya dengan skor 11:9 melawan tuan rumah.

Keluarga besar SaKa bersuka cita, sorak sorai merayakan kemenangan yang sudah dan akan selalu menjadi tradisi mereka. Di malam match terakhir, puluhan motor mengisi area pusat kota dengan membawa bendera hitam berlogo SaKa. Meskipun setelahnya mereka mendapat ceramah panjang lebar oleh kepala sekolah melalui grup official SaKa 60, semua orang tetap tidak peduli. Euforia kemenangan tetap menyelimuti warga SaKa hingga pagi ini.

"Gue tau kita bakal menang, tapi kok rasanya beda gitu ya pas udah menang" Farah menyampirkan ikat pinggang di bahunya.

"Maksudnya, udah biasa gitu?" tanya Widya.

"Enggak, gue seneng tapi rasanya beda. Gak tau karena angkatan kita yang main atau gue terlalu excited"

Lea menunduk hormat saat melewati lobi yang ramai oleh guru. Di belakangnya, Riri, Widya, dan Farah mengikuti.

"Gue gak ngerti maksud lo, njir" Riri mengendikkan bahu. Farah cemberut lalu bergumam pelan.

"Yang penting SaKa menang" Lea bersuara. Yang lain mengangguk menyetujui.

Saat ini keempatnya sedang berjalan menuju kelas setelah berganti seragam olahraga di UKS. Se-elit apapun bentuk bangunannya, nyatanya SaKa tidak memiliki ruang ganti. Kamar mandi pun penuh karena jadwal olahraga mereka berbarengan dengan beberapa kelas. Terpaksa mereka mengusir adik kelas yang tengah mencari obat untuk berganti sebentar.

"Woy! Cepet woy! Pak Fadri udah nunggu!" Beberapa langkah dari pintu kelas, Pandu keluar. Ia berseru pada siapapun yang masih berada di dalam kelas XII IPS 2 agar bergegas.

"Ndu! Hari ini ngapain?!" Riri menghentikan langkah. Ia bertanya pada Pandu, koordinator olahraga yang sudah berlari menuju tangga.

Pandu menoleh sambil masih berlari kecil.

"Voli!"

Tak hanya Riri yang mendengus mendengar itu. Beberapa dari mereka yang sudah keluar dari kelas juga ikut mengeluh. Lea memegangi dadanya yang terasa berdebar kencang. Pagi ini akan menjadi pagi yang panjang. Ia benci bola, tak suka melempar ataupun menangkap bola. Ketakutannya pada olahraga bola melebihi ketakutannya saat maju presentasi.

"Ayo, Far" 

Bersisian, Farah dan Lea berjalan menuju lapangan upacara. Lagi-lagi, se-elit apapun bangunannya SaKa tidak mempunyai lapangan khusus olahraga. Mereka hanya mengandalkan lapangan upacara atau lapangan kompleks perumahan terdekat jika membutuhkan lebih banyak ruang.

"Ayo! Cepat! Buat barisan! Pritt..!!"

Lea, Farah, dan mereka yang masih jauh dari lapangan melajukan kakinya begitu peluit Pak Fadri dibunyikan.

07.28 AM
| SaKa: Lapangan Upacara |

"1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8...Kirii!"

"1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8..."

Pemanasan tengah berlangsung. Dipimpin oleh absen sepuluh dan tiga, sesuai tanggal dan bulan hari ini. Lea menatap lima bola di bawah net yang sudah terpasang dengan gugup. Kedua tangan Lea terasa basah padahal pemanasan yang dipimpin temannya ini tergolong ringan. Mendadak rasa mules memenuhi perutnya. Lea tak bisa membedakan apakah ini mules ingin buang air atau mules karena nervous semata. Yang ingin dilakukannya sekarang adalah cepat-cepat kembali ke kelas tanpa perlu menyentuh bola.

"Kakinya kok diam saja? Ayo! Gimana ini pemandunya?!" seruan Pak Fadri yang berdiri di belakang barisan menyentakkan mereka semua.

"Eh eee.. sekarang kaki! Ikutin depan ya temen-temen. Dari kanan dulu. 1, 2, 3..." Sari, si absen sepuluh memberi arahan. Ia melirik Sekar, si absen tiga agar menyelaraskan gerakan mereka.

DNRPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang